TAIPEI - Presiden Taiwan yang baru, Lai Ching-te, pada hari Senin (20/5), berjanji untuk membela demokrasi di pulau itu, sambil meminta Tiongkok untuk mengakhiri intimidasi militernya terhadap wilayah yang memiliki pemerintahan sendiri tersebut.

Dalam pidato pelantikannya, Lai secara langsung membahas ancaman perang setelah bertahun-tahun meningkatnya tekanan dari Tiongkok untuk membawa Taiwan di bawah kekuasaan daratan.

Dikutip dari Yahoo News, Lai mengatakan era kejayaan demokrasi Taiwan telah tiba dan berterima kasih kepada masyarakat karena menolak terpengaruh oleh kekuatan eksternal karena dengan tegas membela demokrasi.

"Menghadapi banyaknya ancaman dan upaya infiltrasi dari Tiongkok, kita harus menunjukkan resolusi kita untuk membela negara kita dan kita juga harus meningkatkan kesadaran pertahanan dan memperkuat kerangka hukum untuk keamanan nasional," kata pemimpin berusia 64 tahun itu.

Tiongkok menggambarkan Lai sebagai "separatis berbahaya" karena komentarnya di masa lalu mengenai kemerdekaan Taiwan, sebuah retorika yang dimoderasi olehnya dalam beberapa tahun terakhir.

Lai mengatakan pemerintahnya tidak akan menyerah atau memprovokasi, dan (akan) mempertahankan status quo, suatu keseimbangan yang menjaga kedaulatan Taiwan tanpa mendeklarasikan kemerdekaan formal.

"Saya juga ingin menyerukan Tiongkok untuk menghentikan intimidasi politik dan militer mereka terhadap Taiwan," kata Lai.

Dia mendesak Beijing untuk berbagi dengan Taiwan tanggung jawab global untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan, dan memastikan dunia bebas dari ketakutan akan perang.

Lanjutkan Komunikasi Lai telah berulang kali mengajukan tawaran untuk melanjutkan komunikasi tingkat tinggi dengan Tiongkok, yang terputus oleh Beijing pada tahun 2016 ketika pendahulunya Tsai Ing-wen mengambil alih kekuasaan.

Lai mengatakan dia berharap Tiongkok akan memilih dialog daripada konfrontasi.

Namun, para ahli mengatakan tawaran Lai kemungkinan besar akan ditolak.

Taiwan telah mempunyai pemerintahan sendiri sejak tahun 1949 ketika kaum nasionalis melarikan diri ke pulau itu menyusul kekalahan mereka dari pasukan komunis dalam perang saudara di daratan Tiongkok.

Baca Juga: