» Yang lebih parah lagi, dari hasil kroni kapitalisme, mereka bisa membeli hukum sampai membuat UU.

» Kita harus belajar menyembuhkan penyakitnya. Semua kekayaan itu akan akan habis kalau pondasinya tidak kuat.

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidatonya pada acara Musyawarah Rakyat (Musra) yang digelar para relawan di Istora Senayan Jakarta, Minggu (14/5), mengingatkan untuk tidak salah memilih pemimpin ke depan yang akan menggantikannya.

Pemimpin ke depan yang dibutuhkan, kata Jokowi, adalah figur yang berani dan tahu serta paham dengan berbagai permasalahan di negeri ini, serta mampu menyelesaikan masalahnya. Selain itu, juga harus pandai memanfaatkan peluang yang ada dengan berbagai keunggulan potensial yang dimiliki, seperti sumber daya alam dan bonus demografi. Bukan figur yang hanya menjalankan rutinitas dan duduk di Istana, tanda tangan.

Presiden ke depan harus tahu dan memiliki strategi membangun negara, baik strategi ekonomi maupun politik. Sebab, Indonesia akan berhadapan dan berkompetisi dengan dengan negara lain.

Pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, yang dihubungi, Senin (15/5), mengatakan Indonesia hanya punya kesempatan sekali untuk keluar dari middle income trap atau jebakan negara-negara berpendapatan menengah karena bonus demografi (kependudukan) yang akan mencapai puncak usia produktif pada 2035 mendatang.

"Selama kurang lebih 12 tahun ke depan, kalau pemimpin kita hanya bekerja dari Istana, tanda tangan berbagai peraturan, maka kesempatan itu bisa berlalu karena mungkin hanya bangun infrastruktur, tapi tidak menyelesaikan akar masalahnya," kata Aditya.

Pemimpin ke depan, papar Aditya, harus paham masalah dan punya keberanian menyelesaikan, sehingga dia lebih leluasa menetapkan langkah pembangunan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.

"Kalau tidak paham masalahnya, meski kita penuh berkah karena berada di garis katulistiwa, kita akan miskin terus kalau akar masalah tidak diubah. Karena nanti jumlah penduduk manula meningkat, penduduk muda yang produktif turun, sehingga kita menjadi negara terbelakang dan miskin," kata Aditya.

Menurut dia, salah satu akar masalah yang membuat pembangunan berjalan lamban adalah Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang terus mengulang kesalahan masa lalu. Dua otoritas sektor keuangan itu membiarkan bank terus menyalahgunakan dan membiarkan fungsi intermediasi tidak jalan sebagaimana mestinya.

Kredit banyak disalurkan ke kroni-kroni penguasa, terutama ke sektor properti yang rentan bubble (menggelembung) karena dijadikan sebagai ajang untuk spekulasi mencari keuntungan sesaat. Sementara sektor pertanian dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang berkontribusi paling besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dibiarkan. "Kalau ini tidak dibenahi, Indonesia tidak mungkin bangkit," kata Aditya.

Dosa Masa Lalu

Sementara itu, Ketua Umum Hidupkan Masyarakat Sejahtera (HMS), Hardjuno Wiwoho, mengatakan dosa masa lalu yang terus menggelayuti dan membebani pemerintah adalah kewajiban membayar bunga utang kepada para konglomerat yang banknya pernah menerima obligasi rekapitalisasi perbankan (obligasi rekap) dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat krisis moneter pada 1997-1998 lalu.

Kalau BLBI, para debitur/obligor hingga saat ini masih ratusan triliun rupiah belum dibayarkan kembali ke negara. Sedangkan obligasi rekap malah membebani pemerintah dengan membayar kepada debitur selama 50 tahun. Hal yang tidak pernah ada di dunia di mana kreditor membayar ke debitur.

Dihubungi terpisah, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Undpad), Bandung, Romli Atmasasmita, mengatakan masalah substansial yang harus dibereskan pemimpin ke depan adalah kroni kapitalisme yang selalu melakukan praktik rent seeking (mencari rente).

Mereka itu terus dibina, dan selalu melakukan impor sehingga industri dalam negeri mati, pertanian mati, dan sektor industri lemah sekali karena pejabat ikut berburu rente. Suburnya praktik rent seeking di Indonesia karena sudah dipelihara sejak Orde Baru (Orba). Di era reformasi, praktik rent seeking dan oligarki semakin kuat karena sistem pemilu yang berbiaya mahal. Makanya mucul oligarki kekuasaan, bisnis, dan politik.

"Oligarki menguasai semua sektor, baik pertambangan, peternakan, dan pertanian.

Oligarki mematikan keterampilan sumber daya manusia (SDM) kita. Mereka juga didukung pinjaman luar negeri yang membelenggu kita dan membelenggu pemimpin ke depan," kata Romli.

Satu-satunya cara untuk mengakhiri praktik rent seeking adalah membenahi moral. Kroni kapitalisme ini membunuh bangsa. Siapa pun presidennya, kalau ini tidak diubah, sangat mustahil untuk bangkit. Kroni dengan praktik rent seeking seperti kanker yang menggerogoti badan. Kalau terus dipelihara, lama-kelamaan akan memakan bagian tubuh yang lain.

Presiden mendatang harus berani menindak dan memotong kronisme dan mafia ekonomi yang sudah memakan banyak sumber daya negara sejak 1967. Makanya, kalau dilihat kurs rupiah pada 1967 dibanding sekarang, sudah merosot sangat dalam (lihat tabel).

Basmi Perampok BLBI

Peneliti Pusat Riset dan Pengabdian Masyarakat (PRPM) Institut Shanti Bhuana - Bengkayang, Kalimantan Barat, Siprianus Jewarut, mengatakan Indonesia sangat sulit bangkit kalau rupiah seperti itu. Apalagi kalau solusi yang ditawarkan pemerintah selalu utang dan cetak duit, sehingga pertumbuhan ekonomi semu. Maka tidak heran, ada tindak pidana pencucian uang sampai 349 triliun rupiah yang melibatkan Kementerian Keuangan.

"Kalau kanker dipelihara bagaimana bisa maju, yang ada akan menggerogoti bangsa dan rakyat," kata Siprianus.

Tiga akar masalah bangsa itu, katanya, harus dibasmi oleh pemimpin mendatang kalau mau membuat Indonesia maju. Negara harus mempunyai keuangan sangat kuat sehingga rupiah juga menguat, begitu juga sektor riil terutama UMKM.

"Perampok BLBI selama 25 tahun harus dibasni, begitu juga penerima subsidi bank dari obligasi rekap. BI dan OJK pun harus berhenti menganakemaskan bank yang dari rezim ke rezim habiskan anggaran negara melalui subsidi bunga rendah dan membayar dividen kepada pengemplang BLBI. Kalau ini tidak dibenahi, hanya menunggu waktu kita habis," katanya.

Hal yang lebih parah lagi dari hasil kroni kapitalisme. Mereka malah bisa membeli hukum sampai membuat UU atau peraturan yang bukan untuk kepentingan bangsa, tapi untuk kepentingan diri mereka sendiri.

"Pada akhirnya, mereka jadi kebal. Para kroni ini bisa beli hukum dengan uang kejahatan. Pemimpin yang ada, dari rezim ke rezim dilingkari kroni. Maka, harus ada 'satrio piningit' yang basmi ini. Setiap kali pemilu, rakyat menunggu 'satrio piningit'. Bukan angan-angan yang muluk, tapi ini riil. Bisa dilakukan kalau mau, kalau 'satrio piningit' itu mencintai bangsa dan rakyat di atas kepentingan pribadi," katanya.

Dia pun berharap Presiden Jokowi dalam sisa dua tahun pemerintahannya bisa meletakkan landasan yang kuat untuk dilanjutkan pemimpin berikutnya.

Telantarkan Pertanian

Guru Besar Teknologi Pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sigit Supadmo, yang diminta pendapatnya, mengatakan belum ada di dunia ini yang membangun negara dengan memperbesar porsi kredit properti, tetapi menelantarkan sektor pertanian dan UMKM.

"Petani tanpa air dan pupuk tidak akan mampu menghasilkan produksi yang tinggi. Tanpa teknologi, mereka tidak mungkin bisa bersaing," kata Sigit.

Hal itu yang menyebabkan food estate (lumbung pangan) di Kalimantan Tengah gagal karena birokrasi yang bekerja, bukan petaninya yang dibesarkan, bukan proyeknya. Seharusnya petani yang dibesarkan.

Kalau petani tidak diprioritaskan, akan berdampak pada sulitnya menjaga perut rakyat. Hal itu bisa berakibat pada angka stunting bayi di Indonesia. Jika angka kurang gizi tersebut tinggi, rencana besar tidak akan berjalan. Bagaimana mungkin bisa menjadi negara maju kalau masa depan anak diabaikan. "Jangan hanya membangun menara gading," katanya.

Sementara itu, pengamat politik sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya, Universitas Trunojoyo Madura (UTM), Surokim Abdussalam, mengatakan banyak pemimpin di Indonesia yang pandai dan cerdas, tapi dedikasinya bukan untuk rakyat dan bangsanya.

Sebagai contoh, ada perusahaan milik negara yang bekerja sama dengan perusahaan swasta untuk suatu proyek dengan memanfaatkan aset-aset yang dimiliki perusahaan negara tersebut. Kerja sama tersebut tidak membuat perusahaan negara itu lebih besar, karena yang besar malah perusahaan swastanya.

Sejarah sudah membuktikan, ada perusahaan milik negara yang bekerja sama dengan swasta dan sekarang perusahaan itu menjadi milik swasta dan dalam bisnisnya melakukan monopoli. Modus seperti itu terus dipelihara dan dibesarkan, dan sekarang mau diulang kembali.

Hal itu yang membedakan pemimpin Indonesia dengan pemimpin Tiongkok saat ini, Xi Jinping. Xi menyadari kalau swasta terlibat jauh, akan banyak kronisme terkait kekuasaan dan partai. Dia sadar kalau di masa lalu Tiongkok dari kekaisaran yang sangat besar menjadi negara miskin karena kronisme.

Makanya, selama belasan tahun Xi membasmi dengan ribuan orang masuk penjara dan harta dirampas karena terbukti korupsi dan nepotisme. Sistem kronisme dia hentikan karena sadar itu akan membunuh Tiongkok.

"Kita bisa mengatasi hal seperti itu kalau mampu melihat kesalahan masa lalu sebagai pelajaran penting. Kalau tidak, kita akan alami masa depan yang sangat suram, di mana negara dengan sumber kekayaan alam yang besar akan menjadi miskin dan bisa menjadi fail state (negara gagal). Gunakan Tiongkok sebagai pelajaran, kita bukan belajar menjadi kaya, tetapi belajar menyembuhkan penyakit ini, yaitu korupsi, nepotisme, dan kronisme. Semua kekayaan itu akan habis kalau pondasinya tidak kuat. Musuh kita ada di dalam, bukan di luar," tutupnya.

Baca Juga: