Indonesia kini menjadi salah satu negara demokrasi terbesar karena mampu menggelar pemilu secara langsung dan juga pilkada langsung.

Jakarta - Demokrasi langsung yang diterapkan Indonesia baik dalam pelaksanaan pemilihan umum (Pemilu) maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari sisi ongkos atau biayanya sangat mahal. Baik yang harus ditanggung pemerintah pusat dan daerah maupun oleh peserta atau kandidat. Ekses biaya politik yang snagat tinggi itulah yang kerap menjermuskan sebagaian kepala daerah pada praktik suap dan korupsi.

Namun demikian, banyaknya kepadala daerah yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dekade belakangan ini, tidak ada kaitannya dengan penerapan UU No.7 tahun 2017 tentang Pemilu, dan UU No.10/2016 tentang Pilkada. Sehingga kepala daerah yang terpilih dan kena OTT tetap sah menjadi kepala daerah sampai ada kekuatan hukum tetap, atau mengundurkan diri.

Apalagi ada 36 kepala daerah status tersangkanya digantung karena tak cukup bukti. Demikian rangkuman dari diskusi bertema "Marak Kepala Daerah di OTT, Sejauh Mana UU No 10/2016 Diterapkan Penyelenggara Pemilu?" yang digelar di Komplek Parlemen, Senayan Jakarta, Selasa (19/9). Narasumber dalam diskusi ini adalah politisi PAN Yandri Susanto, anggota Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu Rachamd Bagja, dan pengamat politik dari Voxvol Center, Pangi Syarwi Chaniago.

Politisi PAN Yandri Susanto mengakui jika sulit dalam mengikuti pemilu tanpa danapendayang memadai. Sebab, untuk kampanye Pilkada saja bisa membutuhkan 285 miliar rupiah yang digunakan untuk biaya transportasi, akomodasi, kaos, musik penghibur, dan kebutuhan lainnya. Selain itu masyarakat saat ini sulit bisa menghadiri kampanye tanpa diberi transport. Mengapa? Mereka selalu mengatakan kedatangannya di kampanye itu pakai bensin, meninggalkan pekerjaannya di sawah, ladang, dan sebagainya, yang jika dihitung dalam sehari bisa mendapatkan 100 ribu rupiah hingga 150 ribu rupiah.

"Lalu, apakah transpor 100 ribu rupiah kampanye itu bisa disebut politik uang? Inilah susahnya. Sehingga kita tak bisa menyalahkan calon kepala daerah, tapi juga masyarakat. Makanya, semua harus diperbaiki," ujarnya. Dalam kaitan UU Pemilu, menurut Yandri, UU ini tidak mengatur kepala daerah yang terpilih lalu kena OTT KPK.

Sehingga kepala daerah itu tetap sah sebagai kepala daerah sampai ada keputusan hukum tetap, atau mengundurkan diri. Anggota Bawaslu Rahmad Bagya mengatakan, pemilihan langsung di seluruh negara yang demokrasinya maju, itu memakan biaya yang sangat besar bahkan negara sebesar Amerika Serikat (AS). "Pemilu 2004 dan kemudian pemilihan Pilkada langsung itu mau tidak mau berhadapan dengan sistem seperti ini. Praktiknya kita sangat jauh melampaui batas, jumping,dan itulah persoalan yang kita hadapi sekarang.

Sehingga kemudian Pak SBY, merasa jangan-jangan kita kita nggak cocok untuk Pilkada langsung di semua Provinsi karena biayanya yang sangat besar.," karanya. Rahmad menyebutkan, pihaknya menyiapkan beberapa peraturan yang menyesuaikan undang-undang Nomor 10 tahun 2016, khususnya tentang dana kampanye dengan mengikuti aturan KPU tentang Peraturan dana kampanye KPU no.7/2017 yang sudah disahkan oleh KPU dan sudah dikonsultasikan.

Mahar Politik

Sementara itu pengamat politik dari Voxvol Center, Pangi Syarwi melihat persoalan kepala daerah yang terjerat kasus korupsi dan kena OTT KPK dengan proses pemilihan yakni ketika pencalonan, banyak yang harus memberikan mahar politik dan itu bisa berupa uang. "Yang santer, yang pernah saya dengar, satu kursi untuk bupati,wali kota itu 250-350 juta rupiah satu kursi, kalau di daerah kabupaten kota mereka biasanya butuh sekitar 6 kursi, jadi 6 kali 360 lebih kurang sekitar 2 miliar rupiah," katanya.

Di lain pihak, dalam praktiknya, penguasa butuh uang dan pengusaha butuh izin. "Sekarang kan banyak nih, sehingga terjadi persekongkolan antara penguasa dan pengusaha yang untuk melakukan politik uang tadi,"ujarnya. sur/AR-3

Baca Juga: