Pemilu 2024 harus disongsong dalam satu kesatuan, bukan untuk saling meniadakan, tetapi untuk memilih sosok terbaik pemimpin bangsa.

MANADO - Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 harus diingat bersama bahwa hajatan besar rakyat Indonesia itu harus dimaknai bukan untuk saling meniadakan, tetapi bersama-sama memilih pemimpin bangsa yang terbaik. Untuk itu, diharapkan Pemilu 2024 harus disongsong dalam satu kesatuan.

"Supaya mengingat bahwa pemilu itu bukan untuk saling meniadakan tetapi untuk bersama-sama memilih pemimpin yang terbaik, baik presiden, DPR, kepala daerah dan sebagainya," kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD di Manado.

Untuk itu, Mahfud MD bertekad dan sudah memastikan bahwa pemerintah bersama rakyat akan menyelenggarakan pemilu serentak di tahun 2024. "Pertemuan malam ini penting karena kita belum lama dikejutkan oleh isu adanya penundaan pemilu karena putusan pengadilan Jakarta Utara yang memenangkan gugatan sebuah partai dan meminta KPU untuk menunda pemilu sampai tahun 2025," katanya.

Menurut Mahfud, di sini ada dua aspek hukum, pertama, menurut hukum biasa, putusan pengadilan itu salah kamar, salah posisi karena Pengadilan Negeri itu tidak punya kompetensi untuk menentukan pemilu.

Di Undang-Undang Dasar sudah punya empat lingkungan peradilan, di pasal 24 mengatakan, Mahkamah Agung terdiri dari empat lingkungan peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

Sengketa Pemilu

Sengketa pemilu itu ada di ranah lembaga peradilan tata usaha negara, Partai Prima itu kalah karena dianggap tidak memenuhi syarat oleh KPU untuk ikut pemilu. "Gugat ke Bawaslu sesuai dengan bunyi undang-undang, kalau kamu berselisih dengan KPU ke Bawaslu, kalah di Bawaslu gugat ke PTUN, kalah lagi. Nah ini tiba-tiba muncul menang di pengadilan umum," tuturnya.

Menurut dia, salah kamar karena pengadilan ini mengadili urusan pemilu yang sudah diputus oleh pengadilan sebelumnya. "Kalau dipaksakan, misalnya, Mahkamah Agung akan memenangkan itu dari sudut hukum itu bisa dinyatakan sebagai putusan yang tidak bisa dilaksanakan," ujarnya.

Mahfud MD menegaskan akan timbul problem (masalah) hukum kalau penundaan pemilu dipaksakan. "Oke pemilu ndak jadi, terus caranya ini gimana dong kalau harus ditunda, diubah UUD," kata Mahfud.

Menurut dia, mengubah Undang-Undang Dasar memakan biaya politik, biaya sosial, juga biaya uang-nya itu akan jauh lebih mahal daripada menunda pemilu.

Coba bayangkan begini, kata dia, tanggal 20 Oktober tahun 2024 masa jabatan Presiden Jokowi habis, karena menurut konstitusi pasal 7 disebut pemilu lima tahun sekali, masa jabatan presiden lima tahun. "Jadi tanggal 20 Oktober habis, terus karena ada keputusan Mahkamah Agung atau pengadilan ditunda pemilu, ya harus mengubah Undang-Undang Dasar karena MPR atau DPR tidak bisa membuat undang-undang mengubah jadwal pemilu," ujarnya.

Jadwal pemilu tersebut adalah muatan konstitusi bukan muatan undang-undang. "Jadwal teknis pemilu memang di undang-undang tapi jadwal definitif periodik adalah muatan konstitusi tidak bisa diubah oleh undang-undang maupun oleh pengadilan, harus pembuat konstitusi," tuturnya.

Pembuat konstitusi, kalau asumsinya adalah partai politik yang ada di MPR atau MPR yang beranggotakan partai politik, tidak mungkin ada perubahan konstitusi karena syarat mengubah konstitusi itu harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari anggota MPR.

Akibatnya, sidang MPR tidak sah dan keadaan akan menjadi kacau balau sejak tanggal 21 Oktober tahun 2024. "Karena itu mari kita memastikan pemilu tidak akan ditunda, meskipun ada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena itu bukan kewenangannya," ucapnya.

Baca Juga: