JAKARTA - Mekanisme pemilihan anggota penyelenggara pemilu yang tak lagi dengan voting menuai kritikan dari para penggiat kepemiluan. "Perbedaan mekanisme ini bisa bermasalah," kata Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, di Jakarta, Kamis (17/2).

Komisi II DPR telah memilih tujuh anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). Mereka adalah August Mellaz, Betty Epsilon Idroos, Hasyim Asy'ari, Idham Holik, Mochammad Afifuddin, Parsadaan Harahap dan Yulianto Sudrajat. Selain itu, DPR juga telah memutuskan lima anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yakni Herwyn Jefier Hielsa Malonda, Lolly Suhenty, Puadi, Rahmat Bagja dan Totok Haryono.

"Perubahan mekanisme pemilihan anggota KPU Bawaslu tersebut bisa menjadi masalah jika dibandingkan dengan mekanisme sebelumnya," tandasnya. Pada 2012 dan 2017, DPR menggunakan mekanisme voting. Anggota KPU Bawaslu terpilih pada 2012 dan 2017 merupakan nama-nama yang memperoleh suara terbanyak dari anggota DPR.

Menurut Titi, pilihan mekanisme DPR tanpa voting membuat peta koalisi sulit dilihat hubungannya dengan hasil keterpilihan anggota KPU dan Bawaslu. Dalam voting pada 2012 dan 2017, semua bisa menyaksikan anggota KPU dan Bawaslu yang memperoleh suara terbanyak dan paling sedikit. Perbedaan suaranya bisa signfikan. Ada yang mendapat suara banyak sekali, ada yang hanya satu suara.

"Tinggal jumlahkan kursi partai, lalu komparasikan dengan suara yang didapat tiap calon anggota KPU Bawaslu. Dengan ini kita bisa tahu," katanya.

Titi menambahkan, mekanisme pemilihan anggota KPU dan Bawaslu 2022 yang tanpa voting berimplikasi pada nama-nama tanpa peringkat atau pengurutan yang tidak jelas. Peringkat keterpilihan anggota KPU dan Bawaslu 2012 dan 2017 berdasarkan suara terbanyak dari anggota DPR. Keterpilihan anggota KPU Bawaslu 2012 dan 2017 pun bisa disaksikan secara terbuka oleh seluruh rakyat secara langsung.

"Undang-Undang Pemilu yang berlaku sekarang masih mempunyai ketentuan peringkat," katanya.

Titi pun lantas menyebut sejumlah ketentuan peringkat dalam UU Nomor 7 Tahun 2017. Pertama, Pasal 15 dan 89 ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 yang berbunyi DPR menetapkan 7 calon anggota KPU dan 5 calon anggota Bawaslu peringkat teratas sebagai calon KPU dan Bawaslu terpilih.

Kedua, Pasal 37 dan 135 ayat (5) huruf a yang menyatakan anggota KPU dan Bawaslu digantikan oleh calon anggota KPU dan Bawaslu urutan peringkat berikutnya dari hasil pemilihan yang dilakukan oleh DPR.

Jauhi UU

Sementara itu, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, mekanisme pemilihan anggota KPU dan Bawaslu tanpa voting bisa bermasalah secara administrasi.

Masalah ini bisa diajukan keadilannya di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dalam peradilan PTUN ada tiga hal yang bisa dipermasalahkan. Pertama, bukan kewenangan. Kedua, mencampuradukkan kewenangan. Ketiga, sewenang-wenang. "Tiga hal itu salah satu alat ukurnya adalah melanggar undang-undang," jelas Feri.

Menurut Feri, mekanisme tanpa voting membuat proses dan hasil uji kelayakan dan kepatutan calon anggota KPU dan Bawaslu yang dilakukan oleh DPR semakin jauh dari undang-undang. Misalnya terkait dengan ketentuan komposisi perempuan minimal 30 persen dalam anggota KPU dan Bawaslu.

Peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Negrit), Hadar Nafir Gumay, juga sependapat. Menurutnya, mekanisme tanpa voting punya masalah undang-undang dan berkonsekuensi pada masalah yang lain. Padahal, UU Nomor 7 Tahun 2017 sudah jelas punya ketentuan peringkat.

Baca Juga: