Kalau tidak ada NIK, kemungkinan besar orangnya tidak ada. Jadi, sekarang dipastikan seluruh data harus ada NIK.

JAKARTA - Risiko-risiko korupsi terhadap berbagai bantuan sosial (bansos) selama pandemi Covid-19 mulai dipetakan. Hal itu dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna mempersempit ruang gerak koruptor. Demikian Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK, Pahala Nainggolan, saat Webinar Jaga.id "Bansos Dipotong ke mana Harus Minta Tolong" melalui akun Youtube KPK, Kamis (19/8).

Menurutnya, modus pertama korupsi biasa dengan penerima bansos tidak ada alias fiktif. "KPK melihat risiko korupsi jika data penerima bantuan tidak padan dengan Nomor Induk Kependudukan," katanya.

Ini bisa jadi ganda karena tidak bisa secara cepat diidentifikasi penerima dua bantuan. Dia memberi contoh, nama bisa menggunakan M Nasir, Muh Nasir, Muhammad Nasir, atau Muhammad N.Ini bisa empat orang. "Tetapi kalau ada NIK-nya, ketahuan hanya satu orang," ujarnya.

Terkait hal tersebut, Kementerian Sosial telah menjalankan rekomendasi KPK untuk menggabungkan tiga basis data penerima bansos. Maka, yang dilakukan Mensos Risma menunjukkan dari 193 juta (penerima) turun menjadi 155 juta. Itu memastikan yang tidak ada NIK-nya.

Pahala mengatakan, kalau tidak ada NIK, kemungkinan besar orangnya tidak ada. Jadi, sekarang dipastikan seluruh data harus ada NIK. "Kalau buat saya, secara awam, kalau ada NIK-nya berarti manusianya ada atau paling tidak pernah tercatat di Indonesia," tuturnya.

Cara lain korupsi, data penerima bansos tidak perbarui. Pahala menginformasikan, tahun ini ada NIK-nya benar. Tetapi orangnya bisa meninggal, cerai, atau pindah. Data kemendagri menyebutkan, orang meninggal dan lahirdalam setahun saja tiga juta. Belum orang yang pindah, mungkin sekitar 10 juta.

Tak Diperbarui

"Akibat NIK tidak diperbarui tersebut, maka bantuan menjadi salah sasaran," tandas Pahala. Karena NIK tidak di-update, ketika bantuan tiba, orangnya tidak ada. Lalu dikatakan, bantuan salah sasaran. "Masa bantuan diberikan kepada orang yang tidak, lantaran data tidak di-update," tuturnya. Maka dia menekankan bahwa Data Terpadu Kesejahteraan Sosial harus selalu diperbarui (update), tidak boleh statis.

Modus korupsi berikutnya, barang tidak sesuai dengan kuantitas atau kualitas. "Kalau bansos dberikan dalam bentuk paket seperti kasus yang terdahulu pasti nanti ada laporan kurang kualitas atau kurang kuantitas. Jadi, kasus demikian diselesaikan dengan Menteri Sosial Tri Rismaharini.Dia usul kalau bisa jangan dikasih dalam bentuk barang. "Sekarang yang terjadi hampir semua dalam bentuk tunai," tuturnya.

Cara yang juga banyak dilakukan adalah dengan memotong bantuan langsung tunai. Pahala tidak menduga ada "tangan-tangan" di lapangan memungut itu. Besaran pungutan mulai dari 10.000 sampai 10.000.

Pahala mengatakan kasus-kasus tersebut tidak bisa ditolerir. Dia minta masyarakat melaporkannya melalui aplikasi jaga.id. "Kami tidak bisa mentolerir. Laporkan melalui jaga.id," pintanya. Sebenarnya sudah ada pelaporan seperti ini. Hal itu terjadi pada waktu bansosnya dalam bentuk barang. Ada 1.000 lebih laporan. Intinya tentang kuantitaskurang dan kualitas buruk. Ada juga sudah didaftar tetapi tidak dapat.

Baca Juga: