Sampah menjadi masalah yang semakin kompleks dan ruwet yang melanda sejumlah metropolitan, kota besar hingga kota kecil di Indonesia.
Oleh Bagong Suyoto, Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas)
Masalah sampah melampui (go beyond) batas kewajaran! Sampah menjadi masalah yang semakin kompleks dan ruwet yang berkepanjangan melanda sejumlah metropolitan, kota besar hingga kota kecil di Indonesia.
Bahkan, sejumlah tempat pembuangan akhir (TPA) sudah overload dan dalam kondisi darurat, seperti TPA Sarimukti Bandung, TPA Burangkeng Kabupaten Bekasi, TPA Cipeucang Tangsel, TPA Cipayung Depok, TPST Bantargebang, TPA Sumurbatu Kota Bekasi, TPA Galuga Bogor, TPA Piyungan Yogyakarta, dll. Hal ini ditambah beban berat bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat, sebab mayoritas TPA dikelola open-dumping atau alakadarnya.
Saya menulis permasalahan sampah di Indonesia di beberapa media massa di antaranya dengan judul; "Pengelolaan Sampah Makin Kedodoran" dan "Jalan Panjang Tuntaskan Masalah Sampah di Indonesia".
Intinya, pengelolaan sampah nasional dalam persimpangan jalan (crossroad).
Persoalan sampah dalam negeri memuncak, malah Indonesia diserang oleh berbagai jenis sampah impor dari puluhan negera industri maju, seperti negara-negara Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Australia. Klimaksnya terjadi pada tahun 2019 hingga 2022, meskipun belakangan agak hati-hati setelah Presiden Joko Widodo melakukan dua kali Rapat Terbatas Kabinet berkaitan dengan permasalahan dan isu sampah impor. Indonesia dan beberapa negara Asean menjadi tujuan dumping sampah.
Paradigma bahwa sampah impor sebagai komoditas sudah berjalan lama. Sampah bisa jadi komoditas politik, bisa jadi komoditas ekonomi bisnis. Sehingga terjadi ekspor-impor sampah, bukan hanya komoditas pangan, sawit, kayu, besi, dan nikel. Belakangan sampah sebagai komoditas ekonomi bisnis menjadi pembicaran seru di dunia internasiol.
Sudah cukup lama Tiongkok, salah satu negara di Asia Timur menjadi tujuan impor sampah dari negara industri maju Eropa, Amerika, Jepang. Selain itu negara-negara Asia Tenggara pun menjadi tujuan dan target pasar dumping sampah impor, seperti Thailand, Malaysia, Filipina, dan Indonesia.
Pada awal Januari 2018, Tiongkok mengeluarkan kebijakan menutup kran impor sampah disebut "National Sword Policy". Akibatnya terjadi chaos industri daur ulang secara global. Selanjutnya impor sampah itu membanjiri negara Thailand, Malaysia, Filipina, dan Indonesia.
Modus aktivitas impor sampah sekarang mengalami perkembangan, yakni mememuhi kebutuhan bahan baku daur ulang. Padahal jika impor sampah, yang bisa didaur-ulang hanya 10-12 persen. Bahkan, sebagian sampah impor mengandung limbah bahan beracun dan berbahaya (B3). Kecuali, memang impor bahan baku yang popular disebut "ori". Katanya, kualitasnya lebih bagus dan mungkin harganya lebih murah serta karena bahan baku dalam negeri belum mencukupi.
Situasi ini menyebabkan hancurnya pelaku ekonomi sirkular dalam negeri karena sampah pungutan domestik harganya terjun bebas hingga 50-70 persen. Pelaku circular economy kehidupan sosial ekonominya hancur, seperti pemulung, pengepul, pencacah plastik. Mereka pendapatannya terus berkurang dan daya belinya melemah. Bahkan, banyak yang bangkrut dan depresi.
Dalam pidato pertama kali setelah dilantik MPR RI sebagai Presiden RI pada 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto menyampaikan setidaknya 8 program utamanya. Seperti makan bergizi gratis, swadaya pangan, swadaya energi. Semua untuk rakyat. Tetapi, ada satu persoalan serius yang belum disampaikan secara jelas, yakni permasalahan sampah dan upaya, serta strategi mengatasinya.
Permasalahan pengelolaan sampah di Indonesia masih buruk disebabkan beberapa faktor. Pertama, publikasi yang diterbitkan sejumlah kementerian, seperti Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kemenkomarves, Kementerian LHK, Kementerian PUPR, Kemendagri sangat bagus, berdasarkan teori dan fakta-fakta yang bagus, angka-angka capaiannya bagus, sedangkan sebagian besar fakta yang jelek tidak ditampilkan. Publikasi itu menggambarkan cerita sukses, namun dibalik itu ada persoalan besar menjadi gunung es yang tidak dibuka ke publik.
Kedua, perencanaan yang disusun pemerintah pusat di atas kertas tidak mencerminkan fakta seluruhnya dan pelaku aras menengah dan bawah pengelola sampah. Perencanaan itu sulit dipahami dan ditafsirkan dalam implementasi oleh aras menengah dan bawah. Selalu berdalih, pemerintah pusat hanya menyediakan kebijakan. Tetapi, ada sejumlah pekerjaan teknis dilakukan pemerintah pusat, contoh pembangunan TPA sampah dan infrastruktur pendukung dilakukan Kementerian PUPR.
Ketiga, kesadaran masyarakat dalam pengelolaan sampah masih rendah. Tetapi, pemerintah tidak melakukan rekayasa sosial agar keterlibatan masyarakat membesar dan kuat. Memang membangun kesadaran masyarakat butuh proses dan waktu panjang. Namun, semua itu butuh pemantik dan pendorong agar masyarakat respek dan tertarik, seterusnya mendukungnya. Di sini perlunya kerja-kerja advokasi.
Keempat, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah masih bermasalah. Pemerintah pusat penyedia kebijakan sedangkan pemerintah kabupaten/kota sebagai pelaksana teknis. Masalahnya, kebijakan tidak bisa diimplementasikan secara memuaskan jika tidak ditopang kemampuan memahami dan menafsirkan policy itu, serta tidak dukung anggaran yang mencukupi.
Permasalahan sampah di kabupaten/kota selalu berdalih karena anggaran kecil. Apalagi ada vested interest tertentu pada pelakunya, akan menjadi bertambah sulit.
Kelima, yang sangat riskan dan menghadang bahaya adalah tidak ada pemisahan antara regulator, operator dan pengawas/penegak hukum. Regulator juga bertindak sebagai operator pengelolaan sampah. Keterlibatan entitas swasta tidak jelas. Kondisi buruk ini sudah berlangsung selama dua atau tiga puluh tahun lebih.
Keenam, pengawasan dan penegakkan hukum lemah. Permasalahan ini berkaitan erat dengan faktor kelima, yakni tugas pokok dan fungsi regulator, operator sekaligus penegak hukum berbaur jadi satu. Ini merupakan persoalan laten di Indonesia.
Ketujuh, sampai sekarang tidak ada penanggung jawab pengelolaan sampah secara nasional yang punya otoritas penuh dan permanen dan bertanggungjawab langsung pada presiden. Sejumlah Kementerian/badan punya Ditjen pengelolaan sampah, mereka bertanggungjawab pada Menteri-nya masing-masing, tetapi secara manajerial dan administrasi negara tidak ada top eksekutifnya. Bayangkan, apa yang terjadi? Boleh jadi kekacauan atau mal-fungsi!
Berkaitan dengan permasalahan di atas sebagai masukan yang konstruktif untuk pengambilan kebiajakan negara demi masa depan berkelanjutan. Menteri Lingkungan Hidup (LH)/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Hanif Faisol Nurofiq mengatakan pihaknya akan mengevaluasi wacana penghentian impor sampah untuk bahan baku daur ulang. (Antara, 22/10/2024).
Menteri Hanif jugamenyampaikan, bahwa salah satu fokus yang akan dilakukan kementeriannya adalah pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA), terutama di tingkat regional, selain juga mengkaji kebijakan impor sampah sebagai bahan baku untuk daur ulang dan potensi penghentiannya."Kami juga mengevaluasi impor-impor sampah itu sepertinya harus segera kita akhiri, untuk langkah-langkah strategis harus kita bangun di sini," kata Hanif.
Selanjutnya, sebagai salah satu faktor dalam mewujudkan kualitas lingkungan hidup dia juga memastikan akan mendalami perihal penyelesaian TPA regional untuk mempercepat upaya pengendalian sampah dan akan fokus untuk penerapan ekonomi hijau dalam kebijakan Kementerian LH (KLH), termasuk untuk menekan timbulan sampah yang akan berakhir di TPA. (Antara, 22/10/2024).
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), total timbulan sampah mencapai 38,2 juta ton pada 2023 dan 38,21 persen diantaranya tidak terkelola. Sekitar 17-18% merupakan sampah plastik, yang kini dan mendatang menjadi ancaman serius di darat dan laut.
Tampaknya penggunaan plastik akan terus meningkat untuk tahun-tahun mendatang. Penyebab utamanya penggunaan plastik meningkat akibat pertumbuhan penduduk; kebutuhan yang meningkat; gaya hidup; upaya pengurangan sampah plastik belum maksimal; lemahnya kesadaran dari berbagai pihak; kurangnya penanganan dari pemerintah pusat dan daerah.
Tujuh dari belasan permasalahan yang menyelimuti persampahan nasional merupakan masukan berdasarkan pengalaman dan fakta lapangan yang terjadi selama belasan tahun. Tentu, Menteri LH dari Pemerintahan Prabowo-Gribran sudah punya obat atau jurus jitu penyelesaiannya.
Banyak upaya yang harus dilakukan Pemerintahan Baru, yaitu pemahaman dan implementasi pengelolaan sampah secara hirarkis.
Global Waste Management Outlook, United Nation Environmental Programme (UNEP, 2015) menekankan pentingnya pengelolaan sampah sesuai prinsip-prinsip berikut: 1) Harus ada upaya pencegahan sebelum menghasilkan sampah. 2) Meminimalkan kegiatan yang menghasilkan sampah. 3) Melakukan guna ulang. 4) Melakukan daur ulang. 5) Mengembalikan sampah menjadi sumber daya, termasuk menjadi energi. 6) Membuang/memusnakan sampah di landfill/TPA. 7) Melakukan kontrol sisa-sisa sampah.
Dalam upaya meningkatkan peran masyarakat dan pelaku circular economy maka Pemerintah Prabowo-Gibran harus berperan serius dan melakukan intervensi, diantaranya: (1) Melakukan pendampingan berkelanjutan. (2) Memberikan fasilitasi dan dukungan permodalan, teknologi, pasar dan informasi daur ulang secara cepat. (3) Memberi insentif yang mengelola dan mengolah sampah.
Selanjutnya, (4) Memberi disinsentif/sanksi hukum bagi pencemar. (5) Menjaga stabilitas harga sampah pungutan domestik.(6) Mengurangi atau menyetop impor sampah dan bahan baku biji plastik. (7) Memberlakukan kebijakan dan peraturan tentang Extended Producer Responsibility (EPR). Dan, (8) jangan lupa, jangan mengandalkan TPA, mestinya lebih keren menerapkan prinsip zero landfill.
Kita tunggu Menteri LH bekerja, pertama melakukan evaluasi pengelolaan sampah secara nasional. Kemudian mengindentifikasi berbagai permasalahan berkaitan dengan sampah, selanjutnya mengambil langkah-langkah solusi konkrit, komprehensif dan berkelanjutan. Mari kita dukung Menteri LH bersama Kabinet Merah Putih bekerja serius, keberlanjutan dan demi masa depan Indonesia yang lebih adil dan lestari.