JAKARTA - Peralihan industri otomotif dalam negeri ke era elektrifikasi telah dikebut pada era Presiden Jokowi. Regulasi tersebut sudah merajut ekosistem kendaraan elektrifikasi dari hulu sampai ke hilir yang mengejar target net zero emmission (NZE) pada 2060 atau lebih cepat.

Pemerintahan baru yang dipimpin Prabowo Subianto menentukan kelanjutannya. Masih banyak 'pekerjaan rumah' yang perlu diselesaikan dan ada berbagai hal yang penting ditemukan solusinya.

Pengguna kendaraan listrik Viena Paramita (38) ibu rumah tangga asal Kalibata, Jakarta Selatan memutuskan untuk membeli Wuling Binguo EV."Yang bikin tergiur kan Jakarta macet kemudian ada aturan ganjil-genap. Sementara kalau pakai mobil listrik kebal aturan itu. Jadi enggak harus menyesuaikan tanggal saat berpergian," ungkapnya, Senin (21/10).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia pekan ini menyatakan Indonesia punya 40-45 persen cadangan nikel dunia mengutip data geologi Amerika Serikat pada awal 2024.

Pengolahan nikel bertumbuh pesat di dalam negeri, terutama di daerah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Maluku Utara yang mewakili 90 persen cadangan nikel Indonesia.

Konsumen macam Viena dan jutaan orang lainnya pun bisa jadi tergiur untuk mendapatkan mobil listrik karena sumber baterai yang berlimpah di Tanah Air.

Menghijaukan alam dan memajukan industri otomotif dalam negeri menjadi persimpangan rumit untuk dipilih. Pasalnya akselerasi peralihan ke elektrifikasi yang terlalu cepat bisa jadi tak dapat dikejar industri otomotif dalam negeri yang besar karena teknologi Internal Combustion Engine (ICE).

Kendaraan ICE memang menjadi sorotan mengejar target NZE 2060 karena dianggap sebagai salah satu penyumbang besar emisi gas buang dari knalpot yang menghasilkan polusi udara, terutama di kawasan Jakarta dan sekitarnya.

Namun peralihan ke elektrifikasi tak semudah membalikkan telapak tangan. Pemerintahan Jokowi sudah berupaya meramu gagasan dan regulasi untuk peralihan berjalan mulus.

Dikutip dari situs Kementerian Perhubungan, Indonesia menjadi negara penyumbang emisi CO2 terbesar di dunia. Pada 2022 menghasilkan 1,3 gigaton ton CO2, dengan komposisi 50,6 persen emisi berasal dari moda transportasi.

Sementara itu pemerintah berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 32 persen atau 358 juta ton CO2 pada 2030.

Pada awal masa jabatan periode kedua Jokowi, pemerintah langsung memberikan stimulus untuk membantu akselerasi perpindahan ke elektrifikasi.

Stimulus itu tak hanya diperuntukkan bagi konsumen saja, para pelaku industri pun diganjar keuntungan dari pemerintah apabila memproduksi dan menjual kendaraan murni listrik di Indonesia.

Gerbang pintu menuju elektrifikasi industri otomotif diawali kebijakan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle).

Berbagai insentif fiskal maupun nonfiskal telah diatur dalam Perpres tersebut agar mempercepat masyarakat beralih menggunakan kendaraan listrik berbasis baterai.

Lewat Perpres yang ditandatangani Jokowi pada 8 Agustus 2019 itu pemerintah memberikan insentif, penyediaan infrastruktur pengisian daya baterai kendaraan listrik dan penanganan limbah baterai.

Salah satu kebijakan paling menggiurkan dari aturan tersebut yakni insentif yang diberikan pemerintah untuk pembeli mobil listrik.

Pada Pasal 17 ayat (2) disampaikan pemerintah pusat maupun daerah memberikan insentif fiskal maupun nonfiskal. Insentif fiskal terdiri dari insentif bea masuk, pajak penjualan atas barang mewah, serta pembebasan atau pengurangan pajak pusat dan daerah.

Sementara itu, insentif nonfiskal seperti pengecualian dari pembatasan penggunaan jalan seperti ganjil-genap, pelimpahan hak produksi terkait KBL Berbasis Baterai yang lisensinya dipegang pemerintah dan masih banyak lagi.

Tak cukup sampai di situ, empat tahun berselang, Jokowi menerbitkan revisi Perpres yang isinya mengatur pemberian insentif untuk kendaraan listrik dalam bentuk utuh (completely built up/CBU) yang ditandatangani Jokowi pada 8 Desember 2023.

Ketentuan ini tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2023 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan.

Diterbitkannya Perpres itu membuat produsen kendaraan listrik global dapat mengimpor mobil listrik secara utuh dari luar negeri dan langsung dijual kepada konsumen di Indonesia bahkan mendapatkan insentif pajak.

Insentif itu antara lain seperti pembebasan bea masuk atau insentif bea masuk ditanggung pemerintah, pembebasan PPnBM DTP, hingga pemangkasan tarif pajak daerah.

Kebijakan ini membuat produsen bisa menawarkan mobil listrik impor CBU dengan harga terjangkau karena beban pajaknya banyak yang dipotong. Walau demikian produsen-produsen yang ikut program ini mesti menjamin bakal memproduksi mobil listrik itu dengan kapasitas produksi sama seperti jumlah impor.

Viena pun bercerita dirinya membeli mobil listrik tersebut kala pemerintah memberikan insentif PPN 10 persen. Wuling Binguo yang diproduksi di Indonesia dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) melampaui 40 persen itu mampu dipangkas lebih dari Rp10 juta.

Tak hanya puas sampai di situ. Viena berharap pemerintah bisa memberikan 'karpet merah' untuk mobil listrik sehingga semakin banyak yang tertarik untuk membelinya.

Penikmat insentif pemerintah lainnya, Fadil, warga Jakarta Barat pemilik Hyundai Ioniq 5, menyinggung soal infrastruktur Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang kini bertumbuh seiring kebijakan elektrifikasi Jokowi.

Dia bilang jumlah SPKLU sudah memadai tetapi masih kurang banyak. "Sudah memadai SPLU, di setiap rest area ada. Cuma kurang banyak jadi kita pas ngisi ngantri," kata dia.

Baca Juga: