NEW YORK - Pemerintah militer Myanmar dan utusan yang dikirim pemerintah sipil saling melancarkan klaim kontradiktif mengenai siapa yang mewakili negara itu di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hal itu disampaikan para pejabat pada Selasa (2/3).

Sebelumnya Duta Besar Myanmar untuk PBB, Kyaw Moe Tun, secara berani memutuskan hubungan dengan junta militer di depan Sidang Umum PBB pada Jumat (26/2) pekan lalu. Hal itu ia sampaikan dalam sebuah permohonan emosional yang diharapkan dapat membantu memulihkan pemerintahan sipil yang digulingkan. Keesokan harinya, pemerintah militer Myanmar mengklaim utusan itu telah dipecat.

Tetapi pada Senin (1/3) Moe Tun mengirimkan surat kepada Presiden Majelis Umum PBB bahwa dirinya masih memegang jabatan itu.

"Pelaku kudeta yang tidak sah ... tidak memiliki kewenangan melawan otoritas sah dari presiden negara (Aung San Suu Kyi) saya," bunyi surat Moe Tun. "Karena itu saya ingin menginformasikan kepada Anda bahwa saya masih menjadi wakil tetap Myanmar untuk PBB," imbuh dia.

Pada Selasa (2/3), Kementerian Luar Negeri Myanmar mengirim note verbale ke PBB dan mengklaim bahwa Kyaw Moe Tun telah dipecat.

"Kementerian luar negeri mendapat kehormatan untuk menginformasikan bahwa Dewan Administrasi Negara Republik Persatuan Myanmar menghentikan tugas dan tanggung jawab duta besar Kyaw Moe Tun," kata catatan itu. "Saat ini Tin Maung Naing, wakil duta besar perwakilan tetap, telah ditugaskan sebagai kuasa hukum ad interim dari misi permanen," tambah catatan itu.

Juru bicara PBB Stephane Dujarric mengatakan pada jumpa pers bahwa pihaknya telah menerima dua surat kontradiktif. "Kami sedang memeriksa surat-surat itu, dari mana asalnya dan (belum menentukan) apa yang akan kami lakukan," kata Dujarric. "Jujur saja di sini, kami berada dalam situasi yang sangat unik yang sudah lama tidak kami lihat. Kami mencoba memilah-milah semua protokol hukum dan implikasi lainnya," imbuh dia.

Komite akreditasi dan protokol PBB akan menyelidiki masalah ini dan selanjutnya akan memberi masukan ke Majelis Umum. Dujarric mengatakan bahwa utusan PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, yang saat ini berada di Swiss, melanjutkan perbincangannya dengan berbagai pihak mengenai situasi saat ini.

Pada Jumat (26/2) lalu, Burgener mengatakan bahwa penting bagi komunitas internasional untuk tidak memberikan legitimasi atau pengakuan kepada rezim ini dan menyerukan kepada komunitas internasional untuk mendesak kembali ke demokrasi.

Menurut aturan prosedur Majelis Umum, surat kepercayaan harus dikeluarkan oleh kepala negara atau pemerintahan, atau menteri luar negeri. Komunikasi yang dikirim ke kantor Guterres pada Selasa (2/3) menggunakan kop surat Kementerian Luar Negeri Myanmar, tetapi surat tersebut tidak ditandatangani.

Kyaw Moe Tun mencatat dalam suratnya bahwa Presiden Win Myint dan Menteri Luar Negeri Aung San Suu Kyi menunjuknya tahun lalu dan mereka merupakan pemimpin terpilih yang sah.

Dujarric mengatakan PBB belum menerima pemberitahuan resmi tentang perubahan apa pun pada pemerintah Myanmar sejak kudeta 1 Februari. Anggota parlemen terpilih yang digulingkan dalam kudeta telah membentuk sebuah komite dan Kyaw Moe Tun mengatakan kepada Majelis Umum pada Jumat bahwa pemerintah Myanmar yang sah dan dipilih dengan semestinya, harus diakui komunitas internasional.

Dalam suratnya, Kyaw Moe Tun juga meminta Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken untuk terus mendukungnya untuk peran ini. Sementara Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield bertemu secara virtual dengan Kyaw Moe Tun pada Selasa.

Greenfield memuji Moe Tun atas pernyataannya yang berani dan penuh kasih kepada Majelis Umum PBB dan menyatakan dukungan Amerika Serikat untuk rakyat Burma dan pemulihan pemerintah yang dipilih secara demokratis.

Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 orang akan membahas masalah Myanmar dalam pertemuan tertutup pada akhir pekan ini. Dewan tersebut juga telah menyuarakan keprihatinan atas keadaan darurat Myanmar namun tidak mengecam kudeta tersebut karena ditentang oleh Russia dan Tiongkok. DW/CNA/Rtr/I-1

Baca Juga: