Pemerintah akan merevisi target prevelensi stunting apabila target 14 persen di 2024 tidak tercapai.

Pemerintah akan merevisi target prevelensi stunting apabila target 14 persen di 2024 tidak tercapai.

JAKARTA - Pemerintah menegaskan siap untuk merevisi target prevalensi atau penurunan angka stunting pada tahun 2025 jika target prevalensi sebesar 14 persen tidak tercapai pada 2024.

"Target 14 persen- itu target yang maksimal, ambisius ya. Tapi kita harapkan kalau tercapai ya bagus juga, kalau belum kita revisi, kita koreksi untuk target tahun 2025. Yang lebih realistis," kata Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy saat ditemui di Istana Kepresidenan Jakarta, kemarin.

Muhadjir menegaskan bahwa target prevalensi stunting sebesar 14 persen pada 2024 sebenarnya realistis untuk diwujudkan, mengingat realisasi pada 2022 penurunan persentase stunting mencapai 2,8 persen.

Namun demikian, penurunan persentase stunting pada 2023 relatif kecil, yakni 0,1 persen berdasarkan survei dari Sistem Kesehatan Indonesia (SKI), sehingga pemerintah tengah memikirkan penyebab penurunannya tidak signifikan.

Berdasarkan survei SKI, angka stunting di Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebesar 21,5 persen, hanya turun 0,1 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar 21,6 persen.

"Kalau 2023 penurunannya 0,1 persen, lha itu akan kita cari duduk masalahnya di mana. Kalau memang itu angka riil, kita melakukan langkah yang lebih lagi," kata Muhadjir.

Muhadjir lantas menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mengacu pada data survei SKI saja, namun juga memanfaatkan Aplikasi Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (EPP-GBM) sebagai triangulasi untuk meningkatkan validitas data capaian program penanggulangan stunting.

EPP-GBM merupakan pencatatan dan pelaporan berbasis masyarakat dengan teknologi elektronik. Mekanisme itu diterapkan sepanjang Bulan Penimbangan Balita yang bergulir mulai Juni 2024 secara serentak di 330.881 posyandu di seluruh daerah.

Menurut Muhadjir, kepastian dan validitas data yang terpenting agar pemerintah dapat menentukan langkah intervensi yang tepat.

"Yang penting bukan angkanya, tetapi kepastiannya. Karena kepastian angka itu akan menentukan intervensi kita. Kalau angkanya salah, intervensinya pasti salah. Tapi kalau angkanya mendekati benar, Insya Allah intervensinya juga tepat," kata dia.

Dalam kesempatan sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengemukakan ikhtiar pemerintah menekan prevalensi stunting atau tengkes dari 37 persen ke 14 persen merupakan target yang sangat ambisius untuk dicapai pada tahun ini.

"Yang namanya target, kita kan memiliki target yang sangat ambisius dari 37 melompat ke 14 persen. Ini ambisius banget. Tapi, memang kita harus bekerja keras mencapai target," kata Presiden Jokowi saat meninjau Posyandu Terintegrasi RW-02 Taman Sawo Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Selasa (11/6).

Faktor Risiko

Saat ini pemerintah terus berjuang mengentaskan permasalahan stunting untuk mencapai target 14 persen sebagaimana yang telah ditentukan pada tahun 2024, sejak Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan "Stunting" dengan kelima pilarnya disahkan.

Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023 angka prevalensi stunting secara nasional tercatat berada pada angka 21,5 persen, atau turun 0,1 persen dari tahun sebelumnya.

Menurut Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta Abdul Razak Thaha, capaian tersebut menjadi catatan bahwa mencegah lahirnya kasus stunting baru lebih utama, selain menangani anak stunting.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat menyatakan bahwa angka prevalensi yang naik di wilayah itudisebabkan oleh sejumlah faktor risiko yang secara spesifik belum tertangani dengan baik.

Selain penyia-nyiaan, ada calon pengantin yang mengalami kekurangan energi kronik (KEK), perempuan dengan anemia, sampai masalah kemiskinan ekstrem.

Belajar dari sebelumnya, Dinas Kesehatan Provinsi Jabar terlalu fokus pada penanganan anak stunting-nya, kini juga berfokus pada mencegah lahirnya anak stunting baru yang disebabkan oleh beberapa hal.

Dengan mengetahui bentuk intervensi yang harus dibenahi, Pemerintah Provinsi Jawa Barat kemudian menggencarkan sejumlah upaya pencegahan lewat diluncurkannya sebuah program "Geber Si Jumo dan Jamilah".

Program tersebut dijadikan sebagai gerakan bersama untuk meningkatkan literasi masyarakat terkait dengan stunting, pentingnya imunisasi, penanganan Tuberkulosis (TB), sampai menjaga ibu hamil.

Hal itu juga mencakup pencegahan penularan demam berdarah (DB) dan penerapan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), mengingat dalam beberapa waktu kasus DB dan TB di daerah tersebut juga tinggi.

Pencarian kasus stunting pun kian dimasifkan lewat pengukuran tumbuh kembang anak yang digelar rutin. Ant/S-2

Baca Juga: