» Kejahatan dari para rent seeking, oligarki, dan kronisme ini pasti akan mendatangkan bencana.

» Semua komoditas pangan kalau bisa jangan impor. Pemerintah seharusnya jangan mengeluarkan izin impor.

JAKARTA - Pemerintah dinilai terlalu meremehkan ketahanan pangan dengan terus-menerus mengimpor bahan makanan. Padahal, negara-negara produsen seperti India sudah mengeluarkan kebijakan larangan ekspor beras untuk menjaga stok kebutuhan dalam negeri mereka.

Begitu pula dengan Ukraina yang diinvasi Russia, merupakan produsen 30 persen gandum dunia. Dengan mundurnya Russia dari kesepakatan biji-bijian Laut Hitam maka pasokan gandum ke berbagai negara terancam karena Russia bisa saja menembaki gandum yang dikirim Ukraina dari Odesa ke negara lain.

Guru Besar Ekonomi Pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan ketika India sebagai salah satu produsen beras terbesar dunia memutuskan untuk melarang ekspor beras, dampaknya akan sangat terasa di pasar global. Larangan ekspor itu jelas mengguncang harga beras di dunia karena stok terbatas, sementara permintaan dari berbagai negara naik.

"Kita kemarin sudah sempat amankan angka impor beras dari India, semoga cukup untuk tambahan tahun ini. Kalau tidak, memang harga beras bisa naik," kata Dwijono.

Kenaikan harga beras itu pasti akan mempengaruhi tingkat inflasi di banyak negara, terutama di negara-negara yang bergantung pada impor beras dari India. Kalau harga kebutuhan pokok naik, otomatis menurunkan daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan.

Begitu pula dengan gangguan rantai pasok gandum dari Ukraina karena dilanda perang melawan Russia. Jika skenario terburuk terjadi, pasokan gandum dari Ukraina bisa terhenti atau berkurang secara drastis akan meningkatkan ketergantungan pasar global pada pasokan dari produsen lainnya.

"Negara-negara yang mengimpor beras dan gandum dari India dan Ukraina harus mulai mencari alternatif pasokan untuk mengatasi potensi krisis pangan yang mungkin timbul," kata Dwijono.

Fenomena itu, papar Dwijono, sebenarnya sudah terlihat dari setahun lalu, namun pemerintah seolah mengabaikan untuk melakukan antisipasi dengan memperkuat kapasitas produksi dalam negeri.

Dia menduga ada peran dari para pemburu rente (rent seeking), oligarki, dan kronisme dalam sistem ekonomi dan perdagangan sehingga pemerintah seolah meremehkan ancaman ketahanan pangan tersebut, tanpa bertindak mengantisipasinya.

"Kita 'doyan' impor karena ada yang 'doyan' fee, ribuan triliun rupiah. Kejahatan dari para rent seeking, oligarki, dan kronisme ini pasti akan mendatangkan bencana, hanya soal waktu saja. Bagaimana mungkin bisa mau kejar kekurangan pasokan saat ini kalau belum ada persiapan dan langkah antisipasi," katanya.

Kejahatan-kejahatan tersebut, katanya, telah menghambat potensi pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan beradilan, serta menciptakan ketidakstabilan dalam sektor pangan.

Dibuat Malas

Pada kesempatan lain, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Eugenia Mardanugraha, mengatakan kenaikan impor yang tidak diiringi dengan kenaikan ekspor yang lebih tinggi akan menguras devisa Indonesia dan mendepresiasi nilai rupiah.

"Hal ini membuat Indonesia miskin, apalagi kalau itu terjadi di sektor pangan," kata Eugenia.

Invasi Russia ke Ukraina meningkatkan kekhawatiran negara-negara produsen komoditas mulai membatasi ekspornya. Tren yang terjadi saat ini adalah proteksi, bukan liberalisasi.

Impor berbagai produk barang dan jasa sebenarnya bisa diproduksi sendiri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Bahkan, kalau diupayakan lebih serius lagi, Indonesia malah bisa menjadi eksportir. Masalahnya, rakyat khususnya petani dibuat malas menanam lagi karena kalah bersaing dengan produk impor.

"Apabila kita terus impor maka pertumbuhan ekonomi Indonesia turun. Pada saatnya kesejahteraan masyarakat turun alias kembali menjadi negara miskin," katanya.

Sebab itu, pemerintah harus waspada untuk membatasi impor produk-produk yang sudah bisa diproduksi sendiri, termasuk komoditas pangan. "Kita harus belajar dari India yang nasionalismenya tinggi dengan fokus pada kebutuhan domestik. Mestinya RI juga begitu, ngapain impor beras. Naikkan produksi, kurangi konsumsinya dengan mendorong diversifikasi pangan, bukan malah impor. Semua komoditas pangan kalau bisa jangan impor. Pemerintah seharusnya jangan mengeluarkan izin impor," tegasnya.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mendorong pemerintah untuk fokus memperkuat produksi beras dalam negeri, sebab tahun ini saja RI masih impor beras dua juta ton.

Sekarang Indonesia ada kebijakan untuk ekspor beras organik (untuk eksportir biasa) dan non-organik (khusus Bulog).

"Saya tidak setuju dengan kebijakan itu. Karena sekarang ketersediaan beras di domestik masih kurang, bahkan masih impor beras. Kebutuhan beras dari dalam negeri harus dipenuhi dulu. Jadi, jangan ekspor beras dulu sebelum kebutuhan beras dalam negeri cukup dan terpenuhi," tandas Esther.

Baca Juga: