Dibutuhkan usaha besar untuk transisi energi dari fosil menuju karbon netral pada 2050, mengingat saat ini penggunaan batu bara dalam bauran kelistrikan nasional itu terlalu tinggi atau sekitar 63 persen.

JAKARTA - Realisasi kapasitas pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) hingga triwulan III-2021 mencapai 386 megawatt (MW). Hanya saja, pemerintah mengakui realisasi investasi EBT tahun ini tidak mencapai target karena pandemi Covid-19. Akan tetapi, sejumlah kalangan berharap pemerintah lebih gesit lagi menarik minat swasta.

Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, menyebut tambahan pembangkit EBT di antaranya dari PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) Poso Peaker 2nd Expansion Unit 1 dan 2 sebesar 130 megawatt (MW), 12 unit PLTM sebesar 71,26 MW, 55 MW dari 2 unit PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi), PLT Bioenergi 19,5 MW, tambahan dari PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) Atap 17,88 MW.

Dadan menguraikan bahwa pada semester III ini, khusus PLTS Atap, pelanggan telah meningkat menjadi 4.262 pelanggan dengan total kapasitas 39, 28 MWp. "Pelanggan PLTS Atap semakin bertambah, tersebar dari Aceh hingga Papua. Hal ini menandakan program ini disambut baik masyarakat," ujar Dadan dalam konferensi pers virtual Capaian Kinerja Triwulan III 2021, Jumat (22/10).

Tambahan kapasitas pembangkit listrik EBT, prognosa hingga Desember 2021, akan bertambah dari PLT Biomassa (dari limbah cair sawit) berkapasitas 10 MW berlokasi di Jawa Timur, yang ditargetkan akan COD (Commercial Operation Date) tahun ini.

Kemudian, akan ada penambahan dua unit PLTP, yaitu PLTP Rantau Dedap dan PLTP Sokoria, berkapasitas total 91 MW, yang kemajuan pembangunannya sudah mencapai 90 persen. Lalu, penambahan dari PLTS atau PLTS Atap sebesar 27,54 MW dan PLTA dengan kapasitas 200 MW. Untuk skala kecil menengah akan bertambah dari 13 PLTM dengan total kapasitas 395,57 MW.

Dadan juga menjelaskan realisasi investasi EBTKE kemungkinan besar tidak mencapai target untuk 2021 karena faktor pandemi Covid-19. Adapun target investasi EBTKE adalah dua miliar dollar AS dan sampai dengan September ini mencapai 1,12 miliar dollar AS.

"Ini (realisasi investasi) berasal dari kegiatan yang ada di Konservasi Energi, yaitu kegiatan penghematan energi, kemudian dari proyek yang ada di Bioenergi, baik untuk pembangkit listrik ataupun produksi BBM. Kemudian di PLTS, termasuk PLTA, ini juga berkembang. Kemudian (investasi) yang paling besar berasal dari panas bumi, sehingga totalnya adalah 1,12 miliar dollar AS di September," pungkasnya.

Sampai triwulan III-2021, realisasi penurunan emisi telah mencapai 69,5 juta ton CO2e. Aksi mitigasi yang menyumbang reduksi emisi paling besar antara lain implementasi EBT, aplikasi efisiensi energi dan penerapan bahan bakar rendah karbon (gas alam).

Batu Bara Dominan

Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Dharma, menuturkan transisi energi adalah sebuah keniscayaan yang sudah harus dijalankan sebagai realisasi komitmen RI dalam melaksanakan Perjanjian Paris. Hanya saja, persoalan bagi Indonesia kini penggunaan batu bara dalam bauran kelistrikan nasional itu sudah terlalu tinggi atau sekitar 63 persen, lebih tinggi dibandingkan porsi energi terbarukan yang baru mencapai sekitar 12-an persen.

"Ini berarti bahwa perlu usaha besar untuk transisi energi kita menuju karbon netral pada 2050," ungkapnya.

Dia meneruskan upaya ini akan bisa tercapai jika ada percepatan pemanfaatan energi terbarukan serta Upaya pensiunan PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) pada waktu yg lebih cepat.

Baca Juga: