Produksi beras dalam negeri harus dioptimalkan pada musim panen di November 2023 mendatang.

JAKARTA - Pemerintah mulai kelabakan dan panik menghadapi kenaikan harga beras yang terus merangkak. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun memerintahkan agar stok beras di Gudang Bulog segera dilepas ke pasar guna mengendalikan harga yang terus merangkak naik.

Pelaksana Tugas Menteri Pertanian, Arief Prasetyo Adi, usai rapat di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, mengatakan Presiden juga memerintahkan kepada jajarannya agar mendistribusikan beras komersial dari Gudang Bulog ke penggiling padi untuk selanjutnya digelontorkan ke pasar agar pasokan melimpah. "Bapak Presiden menyampaikan sebaiknya stok itu tidak di Gudang Bulog, tapi dilepas ke market secepatnya," kata Arief.

Sebelum usul tersebut, pemerintah telah menyalurkan beras operasi pasar dengan bantuan pangan dan juga beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).

"Sekarang tambahin lagi ke penggiling padi, karena Gabah Kering Panen (GKP) di penggilingan padi cuma 20-30 persen sehingga tidak bisa produksi," kata Arief.

Opsi lain yang sedang dikaji pemerintah, papar Arief, yakni penggiling padi bisa mengemas ulang (repackaging) beras komersial tersebut untuk dijual ke pasar. Pemerintah juga akan mencari titik keseimbangan harga agar beras yang dilepas oleh penggiling padi ke pasar ini tidak mahal.

"Gak terlalu mahal lah dibandingkan dengan harga gabah yang hari ini 7.300- 7.800 rupiah per kilogram (kg). Dengan harga gabah 7.800 rupiah per kg, maka setelah diproses jadi beras, harganya jadi 13 ribu-14 ribu rupiah per kg. Kita nanti cari angkanya dekat-dekat 11.500, 11.600 gitu," katanya.

Selain membanjiri pasar dengan pasokan beras, pemerintah juga akan menambah pengadaan beras sebanyak 1,5 juta ton untuk menjaga ketersediaan stok dan stabilisasi harga.

Pengadaan beras sebanyak 1,5 juta ton itu, di antaranya dilakukan dengan impor dari Vietnam, Thailand, dan Kamboja.

Di samping itu, pemerintah juga berupaya mengoptimalkan produksi beras dalam negeri pada musim panen di November 2023 mendatang.

Menanggapi kenaikan tersebut, pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI), Eugenia Mardanugraha, mengatakan jika di Gudang Bulog masih banyak stok maka harus dilepas ke pasar untuk stabilisasi harga, bukan malah berharap pada impor beras.

Pemerintah, kata Eugenia, perlu menghitung dengan cermat persediaan, baik di Gudang Bulog maupun gudang swasta, produksi, dan konsumsi beras.

"Kalau saya melihat saat ini pemerintah seperti panik dengan kenaikan harga beras, sehingga tergesa-gesa impor sebelum berhitung dengan benar," tegasnya.

Selain menggelontorkan beras, diversifikasi pangan juga diperlukan sebagai alternatif pengganti beras. "Ini yang selama ini kurang diperhatikan, padahal sumber pangan lokal banyak di Indonesia," katanya.

Hentikan Kebiasaan Impor

Pakar pertanian dari UPN Veteran Jawa Timur, Surabaya, Ramdan Hidayat, mengatakan pemerintah harus menghentikan kebiasaan impor kebutuhan pokok karena harga tidak akan pernah lepas dari dinamika perekonomian global yang sangat dipengaruhi faktor ekonomi dan non-ekonomi seperti geopolitik. Akibatnya, jika harga naik akan terasa dampaknya.

Dalam kesempatan terpisah, Guru Besar Fakultas Pertanian dari Univeritas Gadjah Mada (UGM), Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan penyaluran dari Gudang Bulog ke penggilingan padi itu akan memperpanjang rantai pemasaran yang justru menambah biaya yang akan meningkatkan harga.

Menurut Dwijono, penyaluran sebaiknya menggunakan pola operasi pasar langsung yang sudah sering dilakukan Bulog sehingga lebih efektif menurunkan harga pasar.

Kalau melihat produksi padi musim gadu ini, secara nasional menurun, tetapi stok Bulog masih ada sekitar 1,7 juta ton yang masih mencukupi untuk operasi pasar hingga Maret tahun depan dengan harapan mampu menurunkan harga beras.

"Namun yang perlu diamati adalah stok yang kurang karena hingga Maret diperkirakan menghabiskan sekitar 1,2 juta ton. Kalaupun akan menambah impor lagi, saya rasa tidak perlu hingga 1,5 juta ton, paling hanya memerlukan tambahan sekitar 600 ribu ton saja," pungkas Dwijono.

Baca Juga: