Pemerintah merevisi UU ITE dengan menyesuaikan dinamika yang terjadi agar tidak ada kesalahan implementasi dan menghambat proses demokrasi.

JAKARTA - Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menjelaskan alasan pemerintah belum mengajukan revisi Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ke DPR karena masih membahas dan minta masukan publik (public hearing).
"RUU ITE lagi dibahas dan dilakukan public hearing karena terkait dengan RUU pidana (RKUHP) yang sudah dibahas mendalam. Dalam rangkaian ini karena kita sudah punya preseden," kata Yasonna dalam Rapat Kerja (Raker) Badan Legislasi (Baleg) DPR, di Kompleks MPR/DPR/DPD, Jakarta, Selasa (9/3).
Yasonna menjelaskan revisi UU ITE bisa saja menyusul untuk masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Hal itu karena Prolegnas dievaluasi per semester sehingga perlu melihat perkembangan selanjutnya apabila ingin memasukkan revisi UU ITE dalam Prolegnas 2021.
"Kebijakan kita adalah Prolegnas dievaluasi per semester maka lihat perkembangan selanjutnya (rencana memasukkan RUU ITE dalam Prolegnas 2021)," ujarnya.

Menyesuaikan Dinamika
Dalam raker tersebut, anggota Baleg DPR Santoso mengapresiasi keinginan pemerintah merevisi UU ITE dengan menyesuaikan dinamika yang terjadi agar tidak ada kesalahan implementasi dan menghambat proses demokrasi.
Ia menjelaskan pada era presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), filosofi UU ITE adalah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam transaksi elektronik dan pengaturan perlindungan pendapat masyarakat di media sosial.
Santoso setuju dilakukan penyempurnaan terhadap UU ITE namun harus tetap dalam koridor implementasi Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945.
Ketua Tim Kajian UU ITE Sugeng Purnomo mengatakan tim kajian UU ITE mengundang praktisi media sosial dan kalangan aktivis untuk menghimpun data dan masukan dari berbagai pihak terkait UU tersebut.
Sugeng mengatakan mereka yang terkonfirmasi hadir melalui saluran virtual pada Selasa ini, antara lain Damar Juniarto Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Anita Wahid Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Erasmus Napitupulu Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).
Selain itu, itu Wahyudi Djafar Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Ismail Hasani Direktur Eksekutif Setara Institute, dan sejumlah pegiat sosial media seperti Deddy Corbuzier dan Ferdinand Hutahean.
"Akan ada dua sesi pertemuan yang akan kami selenggarakan. Ini menyangkut nara sumber yang kami kelompokkan dalam kelompok aktivis atau masyarakat sipil atau praktisi di antaranya yang sudah menyampaikan kesanggupan untuk hadir kira-kira ada 16 orang," kata Sugeng dalam siaran persnya.
Rinciannya, tujuh orang menyampaikan kesediaannya hadir pada sesi pertama, dan lainnya pada sesi kedua mulai pukul 13.30 WIB. Sebagai informasi, tim kajian UU ITE sebelumnya telah melakukan pertemuan dengan para terlapor dan pelapor. Berbagai masukan diterima, salah satunya menekankan pentingnya edukasi terhadap pengguna ruang digital.

Baca Juga: