JAKARTA - Pemerintah diharapkan jangan terlalu mudah melunak pada konglomerat nakal yang jelas-jelas sudah menggerus keuangan negara sekaligus merugikan rakyat kecil yang haknya harus terenggut.

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, pada Rabu (13/7), mengatakan kalau pemerintah tunduk kepada konglomerat nakal yang sudah menerima kucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan banknya menerima obligasi rekapitalisasi (rekap), mereka merasa mendapat dukungan dari negara sehingga mengabaikan kewajibannya.

"Jangan sampai justru pemerintah dipandang berpihak kepada para obligor BLBI, makanya Satgas BLBI harus bertindak tegas," tegas Badiul.

Pemerintah, kata Badiul, tidak boleh terlalu mudah mengampuni kesalahan para konglomerat yang telah merugikan negara hingga saat ini melalui kucuran BLBI dan obligasi rekap.

Sebab, akibat ulah mereka, negara terpaksa harus membayar bunga obligasi rekap berpuluh-puluh tahun, padahal uang itu sangat bermanfaat untuk mengentas kemiskinan dan masalah stunting.

"Obligor makin kaya, sementara rakyat makin sengsara dan harus menanggung pembayaran bunga obligasi rekap hingga 2043," kata Badiul.

Maka dari itu, apa pun alasannya, para obligor wajib melunasi utang mereka kepada negara. "Pembayaran bunga obligasi rekap juga harus dihentikan. Negara tidak boleh melunak atau tunduk pada mereka," ujar Badiul.

Jangan Diampuni

Sementara itu, Peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, mengimbau agar pemerintah jangan terlalu mudah mengampuni kesalahan para konglomerat yang telah merugikan negara hingga saat ini melalui kucuran BLBI dan obligasi rekap.

"Jangan karena usahanya besar dan mempekerjakan banyak tenaga kerja serta berkontribusi pada penerimaan negara digunakan sebagai dalih untuk mengampuni mereka dengan alasan klasik sebagai biaya krisis," kata Salamuddin.

Buktinya, mereka kembali mengincar aset-aset strategis negara yang justru makin memperkuat cengkeraman mereka terhadap pemerintah. Pemerintah harusnya belajar pada Tiongkok, sekalipun Jack Ma dengan usahanya yang bisa memberi kontribusi pada negara, namun dengan penerapan teknologinya yang berpotensi dianggap bisa mempengaruhi kedaulatan negara, pemerintah tidak memberi keleluasaan kepada usaha tersebut.

Menurut Salamuddin, para pengemplang BLBI memiliki utang yang sangat besar kepada negara yang tidak bisa dikonversi dengan apa yang mereka sebut sebagai peran mereka dalam membangun perekonomian Indonesia.

"Kita selalu lupa nilai BLBI yang dikucurkan ke mereka tidak pernah dihitung dengan present value atau penilaian saat ini. Nilai satu triliun rupiah pada 1998 dengan sekarang sudah naik berapa kali? Itulah nilai kejahatan mereka yang bikin sengsara rakyat karena APBN terbebani hingga hari ini," tandas Salamuddin.

Jadi, piutang negara BLBI harus ditagih dan obligasi rekap dihentikan secepatnya serta tidak membiarkan mereka leluasa caplok sana-sini, padahal tunggakannya besar.

Baca Juga: