BUMN harus lebih selektif menjalankan usahanya supaya tidak merugi dan akhirnya minta penyertaan modal lagi.

JAKARTA - Pemerintah diminta agar tidak ceroboh mengalokasikan Penyertaan Modal Negara (PMN) ke perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Permintaan itu disampaikan mengingat PMN selama ini terbukti tidak efektif menyehatkan perusahaan penerima, malah dana PMN jadi bancakan baik saat pembahasan perizinan di DPR maupun saat dikelola oleh direksi perusahaan.

Seperti diketahui, Kementerian BUMN kembali mengusulkan kepada Kementerian Keuangan untuk memberikan PMN sebesar 57,96 triliun rupiah tahun depan atau lebih tinggi dari tahun ini yang tercatat sebesar 47 triliun rupiah.

Kepala Center Food, Energy, and Sustainable Development, Indef, Abrar P.G Talattov, dalam diskusi bertajuk "Perlukah PMN 57 Triliun Rupiah" mengingatkan pemerintah agar pemberian PMN harus benar-benar selektif dan akurat. Terlebih, melihat manajemen di internal BUMN saat ini yang bermasalah.

"PMN yang diberikan diharapkan kembali dalam bentuk dividen, tetapi justru menguap begitu saja karena pengelolaan internal BUMN yang buruk," kata Abrar di Jakarta, Selasa (13/6)

Selama ini, suntikan modal ke BUMN melalui PMN selalu tidak berbekas, karena penanganan kerugian di BUMN belum tertangani dengan baik karena persoalan tata kelola.

BUMN yang banyak menerima PMN selama periode 2018-2022 terutama BUMN karya dan penerbangan karena terus merugi. "Kita paham BUMN infrastruktur itu mendapat penugasan dari pemerintah, faktanya hingga saat ini kondisi keuangan dari BUMN karya juga mendapat tekanan yang luar biasa," kata Abrar.

BUMN Karya semisalnya Waskita Karya yang sudah menerima suntikan modal berkali-kali, namun kesehatan perusahaan tidak kunjung membaik. Debt to equity ratio-nya 37,2 persen. Artinya, PMN itu tidak bisa sepenuhnya mendukung kesehatan mereka ditambah lagi dengan kasus fraud yang melibatkan direksinya. "Ini sangat melukai hati rakyat, sudah diberikan PMN, tetapi justru korupsi di tubuh BUMN yang menerima PMN," tandas Abra.

Kementerian Keuangan sendiri sudah mencantumkan PMN dalam menyusun Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok- Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF).

Pada 2024, Kementerian BUMN mengusulkan PMN kepada BUMN sebesar 57,96 triliun rupiah. PMN tersebut akan digunakan sebagai tambahan investasi dan operasional BUMN serta menuntaskan proyek-proyek yang sedang dikerjakan sebagai bagian dari penugasan pemerintah.

Dalam kesempatan yang sama, Peneliti Senior INDEF, Aviliani, mengatakan BUMN yang sehat ialah yang sudah go publik, karena mereka sudah menerapkan Environmental Social Governance (ESG) dalam kinerjanya. "BUMN yang belum go publik sangat rentan mengalami masalah kesehatan keuangan karena governance-nya memang bermasalah," kata Aviliani.

Peneliti Center Industry, Trade and Investment, INDEF, Ariyo DP Irhamna, juga meminta BUMN lebih selektif menjalankan usahanya supaya tidak merugi dan pada akhirnya akan minta PMN lagi yang membebani APBN.

Konversi Jadi Modal

Secara terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI), Surabaya, Leo Herlambang, mengatakan PMN seharusnya hanya diperuntukkan bagi BUMN yang kondisi keuangannya prima, bukan yang merugi.

"Ini tidak perlu diambil dari APBN, tapi bisa dari keuntungan perusahaan yang bersangkutan. Dividennya tidak perlu dibayarkan ke pemerintah, tapi dikonversi menjadi setoran modal BUMN tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir saya lihat dividend payout ratio-nya terus naik. Artinya, pemegang saham yaitu pemerintah sedang membutuhkan uang," kata Leo.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengatakan PMN harus selektif terutama dengan melihat proyeknya. Negara juga harus berpikir ulang jika memberikan PMN pada BUMN yang kinerjanya buruk. Banyak BUMN yang pimpinannya terlibat korupsi, kesalahan manajamen, dan terakhir diduga melakukan manipulasi laporan keuangan.

"Waskita ternyata fraud, manipulasi laporan keuangan, direkturnya kena korupsi. Masak kondisi seperti itu dibantu pakai PMN. Pemerintah harusnya punya standar evaluasi terhadap pengucuran PMN. Sebelum disuntik pun BUMN seharusnya dituntaskan restrukturisasinya.

Baca Juga: