Dengan konstelasi politik internasional maka kemampuan menyediakan pangan tanpa harus membeli dari negara lain menjadi penting untuk ketahanan pangan nasional.

JAKARTA - Hari Pangan Sedunia yang akan diperingati pada Rabu (16/10) mengangkat tema "Hak atas Pangan untuk Kehidupan dan Masa Depan yang Lebih Baik". Tema tersebut dinilai sangat relevan dengan kondisi di dunia saat ini karena banyaknya penduduk bumi yang terancam sulit mengakses pangan karena dampak pemanasan global dan faktor geopolitik. Pakar pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Suprayogi, mengatakan dua faktor tersebut berimbas terhadap banyak hal, termasuk ketahanan pangan dalam konteks internasional dan dapat berimbas ke berbagai negara.

"Pemanasan global pada 2023 juga mempengaruhi produksi pangan di banyak negara produsen pangan seperti India. Kemudian, perang juga mempengaruhi proses perdagangan pangan," kata Guru Besar Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Unsoed itu. Oleh sebab itu, masalah ketahanan pangan menjadi sangat penting dan harus dipikirkan betul oleh setiap negara termasuk Indonesia. Dengan perkembangan konstelasi politik internasional maka kemampuan untuk menyediakan pangan tanpa harus membeli itu menjadi penting untuk ketahanan pangan nasional.

"Di negara kita pun, kita melihat bahwa pemerintah sudah memahami tentang ancaman kerawanan ketahanan pangan nasional kita, sehingga pemerintah sekarang ini sedang menggalakkan program cetak sawah baru, juga food estate, walaupun belum menunjukkan hasil," katanya. Indonesia, jelasnya, harus swasembada pangan dan tidak bisa mengikuti polanya Singapura yang punya uang karena negaranya berbasis jasa dan punya uang untuk bisa beli.

Peringatan hari pangan bagi Indonesia seharusnya menjadi momentum untuk tidak mengandalkan lagi impor. "Andaikan punya uang pun, Indonesia belum tentu bisa impor karena tantangan politik dalam negeri juga cukup besar. Impor pun tidak mudah karena meskipun punya devisa, negara lain belum tentu mau menjual komoditas pangan tersebut karena lebih memikirkan ketahanan pangan di negaranya," jelas Suprayogi seperti dikutip dari Antara. Pemerintah tidak punya pilihan selain mengupayakan swasembada pangan melalui kemampuan produksi sendiri. Untuk itu, perlu mengidentifikasi tantangan- tantangan yang harus diatasi, di antaranya alih fungsi lahan pertanian yang masif dan diversifikasi pangan.

Sistem Pengairan

Dari Yogyakarta, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan swasembada pangan Indonesia harus memperhatikan sistem pengairan dan ketersediaan benih unggul, terutama karena semakin menipisnya stok pangan internasional. Langkah-langkah strategis, jelas Dwijono, sangat penting dilakukan guna memastikan bahwa kebutuhan pangan dalam negeri dapat terpenuhi secara mandiri. "Stok pangan internasional semakin tipis.

Jika kita ingin memastikan swasembada pangan, yang pertama kali perlu dibenahi adalah sistem pengairan dan ketersediaan benih unggul padi," ujar Dwijono. Hal itu sangat beralasan karena pengairan memiliki kontribusi sebesar 16 persen terhadap produktivitas padi, sementara benih unggul menyumbang sekitar 23 persen. Dua faktor penting itu yang perlu segera diatasi untuk mencapai peningkatan produktivitas. Salah satu permasalahan yang dihadapi saat ini, menurut Dwijono, adalah semakin sulitnya memperoleh benih unggul padi dalam beberapa tahun terakhir.

Kurangnya ketersediaan benih unggul menjadi hambatan bagi para petani untuk memaksimalkan hasil panen, sehingga kebergantungan terhadap impor pangan dapat meningkat. Selain itu, pupuk juga merupakan elemen penting yang memberikan kontribusi 14 persen terhadap peningkatan produktivitas padi di Indonesia. "Sebenarnya, produktivitas padi kita yang mencapai lima ton per hektare sudah relatif tinggi. Namun, dengan melihat stagnasi peningkatan kapasitas produktivitas selama ini, kita perlu mencari cara agar bisa lebih optimal lagi," jelas Dwijono.

Salah satu solusi yang ditawarkan adalah optimalisasi produktivitas padi pada lahan kering, yang selama ini masih kurang dimanfaatkan secara maksimal. Untuk mencapai swasembada pangan, selain peningkatan produktivitas di lahan basah, Indonesia juga perlu fokus pada pengembangan lahan kering sebagai alternatif. Dengan demikian, produktivitas padi nasional dapat ditingkatkan, serta ketergantungan pada pasokan pangan internasional dapat berkurang.

Pendekatan Holistik

Dosen Universitas Warmadewa (Unwar) Denpasar, Bali, I Nengah Muliarta, mengatakan ketahanan pangan adalah tantangan multidimensional yang memerlukan pendekatan yang holistik. Diversifikasi pangan dan mengurangi kebergantungan pada beras adalah kunci untuk menciptakan sistem pangan yang lebih resilient. "Dengan melibatkan semua stakeholders dan memanfaatkan sumber daya yang ada, kita dapat mencapai ketahanan pangan yang diinginkan.

Upaya ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan, tetapi juga memastikan keberlanjutan sumber daya pangan untuk generasi mendatang," kata Muliarta. Diversifikasi sangat penting untuk mengurangi risiko kegagalan panen dan meningkatkan ketahanan gizi. Berbagai sumber pangan lokal, seperti umbiumbian, sayuran, dan buah-buahan, harus dipromosikan dan dikembangkan. Managing Director Political Economy and Policy Studies, Anthony Budiawan, mengatakan yang utama untuk pangan adalah meningkatkan produksi lokal dan linear dengan kesejahteraan petani.

Ia mengakui pula bahwa dari berbagai tantangan selama ini termasuk tekanan geopolitik dan perubahan iklim, ketahanan pangan nasional belum kuat. "Ini akhirnya menjadi celah bagi pemerintah untuk meningkatkan impor. Impor beras 2023 mencapai 3,06 juta ton, mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah. Impor beras 2024 akan lebih tinggi lagi," katanya.

Baca Juga: