JAKARTA - Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menjamin kontinuitas pasokan kelapa sawit sebagai bahan baku energi baru dan terbarukan (biodiesel).
Asisten Deputi Pengembangan Agribisnis Perkebunan Kemenko Perekonomian, Moch. Edy Yusuf mengatakan, dari sisi penghematan, sektor kelapa sawit masih lebih efisien dibanding minyak nabati lainnya seperti kedelai,bunga matahari ataupun repeseed.
Atas dasar itu pemerintah tak meragukan lagi daya saing kelapa sawit RI kendati dihantam banyak kampanye negatif dari luar negeri.
Dalam belasan tahun terakhir komoditas ini sudah bertransformasi sehingga makin ramah lingkungan atau mengedepankan prinsip SDGs (sustainable development goals). Karena itu produksinya tak terganggu.
Dia menyebut, luas lahan yang dibutuhkan kelapa sawit untuk menghasilkan minyak nabati hanya 0,3 hektar untuk menghasilkan satu per ton. Penghematan penggunaan lahan ini sesuai dengan SDGs.
"Bandingkan dengan kedelai yang membutuhkan 2,2 hektar untuk menghasilkan satu ton, bunga matahari 1,5 hektar dan rapeseed 1,3 hektar. Artinya, kelapa sawit masih jauh lebih efisien,"ucapya dalam webinar di Jakarta, Selasa (24/8).
Selain efisiensi dari sisi lahan, penghasilkan dari kelapa sawit juga jauh lebih tinggi dibanding mata pencaharian pertanian lainnya seperti. Atas dasar itu ketertarikan petani untuk menggeluti sektor ini juga tak berkurang.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Kemitraan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Edi Wibowo menuturkan, kelapa sawit telah berkontribusi menjadikan Indonesia sebagai produsen Biodiesel, energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dibandingkan fossil fuel, yang bahan bakunya berasal dari minyak sawit.
Biodiesel sawit tersebut, melalui pencampuran dengan minyak Solar dalam bentuk B-30, telah kita gunakan sebagai bahan bakar, sehingga mengurangi ketergantungan negara kita atas impor minyak bumi sekaligus mengurangi defisit neraca perdagangan di sektor migas.
Kita pernah produsen nomor satu rempah-rempah, kita pernah produsen nomor satu Cengkeh, Karet. Namun saat ini, kejayaan atas komoditas-komoditas tersebut telah meredup. Penyebabnya beragam, karena produktivitas yang menurun, hantaman isu negatif, inovasi dan riset yang minim, kalah bersaing dengan produk subtitusi, tidak adanya diversifikasi produk, dan sebagainya.
"Saat ini kita kembali menjadi produsen Kelapa Sawit terbesar di dunia, dan menjadi tantangan bagi kita semua agar kejadian serupa tidak terulang terhadap komoditas ini," pungkas Edi.