Dalam masa transisi energi, kesiapan ekosistem diperlukan sehingga tidak mengulangi kesalahan Tiongkok yang akhirnya justru terjadi krisis energi.

JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan, ke depan tak ada lagi tambahan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru. Hal itu akan tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) terkait energi baru dan terbarukan (EBT) dan retirement coal yang bakal terbit tahun ini.

Tidak adanya izin untuk PLTU baru itu sebagai bagian dari roadmap (peta jalan) net zero emission (NZE) pada 2060. Peta jalan itu penting demi menghadapi berbagai tantangan serta risiko perubahan iklim di masa mendatang.

"Tidak ada tambahan PLTU baru, kecuali yang sudah berkontrak maupun sudah dalam tahap konstruksi," tegas Menteri ESDM, Arifin Tasrif, dalam diskusi bertajuk Road to COP26 : Tekad Generasi Muda Indonesia Mencegah Perubahan Iklim dan Mendukung Energi Bersih, di Jakarta, Kamis (7/10).

Dia menerangkan, dalam mencapai target nol emisi, pemerintah tengah menerapkan lima prinsip utama, yaitu peningkatan pemanfaatan EBT, pengurangan energi fosil, kendaraan listrik di sektor transportasi, peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri, dan pemanfaatan Carbon Capture and Storage (CCS).

Selain menghentikan izin PLTU baru, pada 2022 akan adanya Undang-Undang EBT dan penggunaan kompor listrik untuk dua juta rumah tangga per tahun. Selanjutnya, pembangunan interkoneksi, jaringan listrik pintar (smart grid) dan smart meter akan hadir pada 2024 dan bauran EBT mencapai 23 persen yang didominasi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) pada 2025.

Pada 2027, pemerintah akan memberhentikan stop impor LNG (gas alam cair) dan 42 persen EBT didominasi dari PLTS di 2030 di mana jaringan gas menyentuh 10 juta rumah tangga, kendaraan listrik sebanyak dua juta (mobil) dan 13 juta (motor), penyaluran BBG 300 ribu, pemanfaatan Dymethil Ether dengan penggunaan listrik sebesar 1.548 kwh per kapita.

Semua PLTU tahap pertama subcritical akan mengalami pensiun dini pada 2031 dan sudah adanya interkoneksi antarpulau mulai COD (Commercial Operation Date) pada 2035 dengan konsumsi listrik sebesar 2.085 kwh per kapita dan bauran EBT mencapai 57 persen dengan didominasi PLTS, hydro, dan panas bumi.

Pada 2040, bauran EBT sudah mencapai 71 persen dan tidak ada PLT Diesel yang beroperasi, lampu LED 70 persen, tidak ada penjualan motor konvensional, dan konsumsi listrik mencapai 2.847 kWh per kapita. Selanjutnya, bauran EBT diharapkan sudah mencapai 87 persen pada 2050 dibarengi dengan tidak melakukan penjualan mobil konvensional dan konsumsi listrik 4.299 kWh per kapita.

Belajar dari Tiongkok

Sementara itu, Direktur Celios, Bhima Yudisthira, mengatakan dalam masa transisi energi yang diperlukan adalah ekosistemnya disiapkan sehingga tidak mengulangi kesalahan Tiongkok yang akhirnya justru terjadi krisis energi. Beberapa hal yang perlu disiapkan, meliputi komitmen pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada pembangkit batu bara, secara paralel investasi di EBT juga didorong melalui insentif-insentif yang menarik baik fiskal dan non-fiskal, terakhir adalah storage energi dan transmisi listriknya disiapkan.

"Indonesia kan punya banyak sumber daya terbarukan yang berlimpah, mulai dari energi sinar matahari, sampai hidro atau pembangkit dari tenaga air," ucap Bhima.

Baca Juga: