Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan kesejahteraan petani sehingga lahir petani generasi penerus yang akan menghasilkan pangan bagi rakyat Indonesia, bukan dari impor. Pangan untuk rakyat Indonesia harus bisa dihasilkan dari dalam negeri oleh petani kita sendiri.

Indonesia pernah menyandang status sebagai negara agraris karena banyaknya penduduk yang mata pencahariannya sebagai petani. Namun status itu kini sudah tidak melekat pada Indonesia karena semakin turunnya jumlah petani yang ada. Bahkan Indonesia bisa kekurangan petani jika turunnya jumlah penduduk yang bekerja di bidang pertanian terus menurun.

Data Bank Dunia menunjukkan penduduk yang bekerja sebagai petani menyusut menjadi 28,5 persen pada 2019. Padahal tiga dekade sebelumnya jumlahnya mencapai 55,5 persen dari total angkatan kerja.

Sementara di sektor lain, justru meningkat. Seperti industri yang naik dari 15,2 persen pada 1991 menjadi 22,36 persen pada 2019. Kenaikan lebih pesat terjadi pada sektor jasa dari 29,3 persen menjadi 49,1 persen.

Terus turunnya penduduk yang bekerja sebagai petani karena memang sektor ini tidak menjanjikan hidup yang layak. Lihat saja data Nilai Tukar Petani (NTP) yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tiap bulan, tidak jauh di atas 100. Sangat mepet. Itu artinya pendapatan yang diperoleh petani hanya sedikit lebih tinggi dibanding pengeluarannya. Bahkan tidak jarang, NTP di bawah angka 100 yang artinya petani rugi karena pendapatannya lebih kecil dibanding biaya produksi yang mereka keluarkan.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono melansir bahwa Nilai Tukar Petani (NTP) mengalami kenaikan 1,08 persen pada Desember 2021 jika dibandingkan November 2021. "Berdasarkan hasil pemantauan harga-harga perdesaan di 34 provinsi di Indonesia pada Desember 2021, NTP secara nasional naik 1,08 persen dibandingkan NTP November 2021, yaitu dari 107,18 menjadi 108,34," kata Margo saat menggelar konferensi pers secara virtual belum lama ini.

Meski NTP Petani pada Desember 2021 sedikit naik, namun sayang kenaikan tersebut belum sepenuhnya dinikmati oleh petani lantaran baru terjadi di sebagian subsektor pertanian dan ada disparitas harga di tingkat petani dan konsumen.

Umumnya memang menjelang Natal dan tahun baru terjadi kenaikan harga hasil pertanian, karena memang permintaan juga cukup tinggi. Tahun ini kenaikan terlihat signifikan mengingat curah hujan yang cukup tinggi berdampak pada produksi petani. Bahkan kita lihat di beberapa wilayah Indonesia terjadi bencana banjir, karena curah hujan yang cukup tinggi.

Rendahnya keuntungan yang diraih petani inilah yang menyebabkan anak muda enggan berprofesi sebagai petani. Bahkan anak muda lulusan fakultas pertanian pun belum tentu tertarik mencari nafkah yang berhubungan dengan bidang pertanian.

Berdasarkan data BPS per Agustus 2020, rata-rata upah pekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan hanya sebesar Rp 1,92 juta per bulannya, terendah dari 17 sektor yang ada. Rata-rata upah pekerja tertinggi berasal dari sektor pertambangan dan penggalian, yakni sebesar Rp 4,48 juta per bulan.

Dari sini jelas keberpihakan pemerintah kepada petani sangat kurang. Seharusnya pemerintah lebih memperhatikan lagi kesejahteraan petani sehingga lahir petani generasi penerus yang akan menghasilkan pangan bagi rakyat Indonesia, bukan dari impor. Pangan untuk rakyat Indonesia harus bisa dihasilkan dari dalam negeri oleh petani kita sendiri agar jika terjadi krisis pangan dunia, imbasnya tidak banyak kita rasakan.

Baca Juga: