Dibutuhkan konsistensi untuk menegakkan aturan pelarangan ekspor bahan mentah, termasuk nikel, dan harus diolah terlebih dahulu.
JAKARTA - Pemerintah harus lebih tegas lagi melarang ekspor mineral mentah. Sebab, saat ini pelaksanaannya di lapangan tidak berjalan sesuai rencana. Apabila regulator terus lembek, kerugian bakal semakin besar akibat pengerukan sumber daya alam (SDA) secara besar-besaran.
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, menegaskan upaya melarang ekspor mineral mentah memang berjalan, khususnya untuk sumber daya mineral dan tambang sudah dikeluarkan Kepmen (Keputusan Menteri) hilirisasi produk.
Dalam beleid tersebut, mulai 1 Januari 2020, bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7 persen tidak lagi diperbolehkan untuk diekspor. Aturan itu melarang ekspor bahan mentah untuk nikel dan sebagainya dan harus diolah terlebih dahulu. Awalnya aturan ini baru berlaku tahun depan, tetapi kemudian dipercepat.
"Memang sudah berjalan akan tetapi belum full (sepenuhnya) implementasi di lapangan karena perusahaan smelter juga tidak banyak jumlahnya. Tidak ada ketegasan dari pemerintah untuk benar benar melakukan larangan ekspor nikel mentah dan bahan mineral lainnya," tegas Esther pada Koran Jakarta, Kamis (16/9).
Menurutnya, masih ada faktor lain yang membuat pelaksanaan aturan itu kurang berjalan seperti harga nikel mentah di luar negeri lebih tinggi sehingga eksportir tetap melakukan ekspor nikel mentah. Namun, menurut dia, kunci utamanya pada konsisteni penyelenggara negara sendiri.
Hal senada juga disampaikan Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Fahmi Radi. Menurutnya, prioritas saat ini adalah menciptakan keterkaitan industri dari hulu hingga hilir.
Dia menerangkan hilirisasi hasil tambang dan mineral untuk menghasilkan bahan baku utama industri baterai. Lalu, baterai menjadi bahan baku bagi mobil listrik. "Kalau keterkaitan industri bisa diciptakan maka ekspor hasil tambang dan mineral sudah berakhir," tegas Fahmi
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengatakan era kejayaan komoditas bahan mentah sudah berakhir. Dia menegaskan RI harus berani mengubah struktur ekonomi yang selama ini berbasis komoditas untuk masuk ke industrialisasi menjadi negara industri yang kuat dengan berbasis pada pengembangan inovasi teknologi.
Berani Berubah
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Energi Watch Indonesia (EWI), Ferdinand Hutahaean, mengatakan apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi benar dan tepat. Sebab, Indonesia harus berani berubah dan bertransformasi dari rezim bahan mentah ke industrialisasi, beralih ke produk jadi berbasis pada teknologi sekarang dan teknologi yang akan booming pada masa depan.
"Tanpa keberanian bertransformasi, kita tetap akan tertinggal dan tetap menjadi negara konsumen, negara pasar, negara pembeli sementara kita punya semua jenis bahan baku. Ini harus diubah dan digeser kebijakannya," jelas Ferdinand.
Dirinya mengapresiasi keberanian dan kebijakan pemerintah mengalihkan status Indonesia dari negara konsumen ke negara industri atau produsen. "Keberanian dan kebijakan strategis ini tentu harus tidak boleh berakhir hanya dalam bentuk seremonial semata," tukasnya.
Ferdinand berpandangan jajaran kabinet harus menopang kebijakan ini dengan dukungan maksimal agar industrinya tumbuh dan pasarnya tumbuh. Dia menyarankan agar masing masing lembaga yang terkait, baik itu Kementerian Perdagangan, Perindustrian, Keuangan, BUMN, Investasi, Teknologi harus mengkaji regulasi yang kuat agar kebijakan strategis ini tumbuh dan tidak layu sebelum berkembang.