» Pejabat Kemenkeu mestinya diisi figur yang inovatif dan kreatif mencari sumber pembiayaan selain utang.

» Penarikan utang saat krisis terkesan jor-joran, lebih banyak untuk konsumtif, bukan produktif.

JAKARTA - Peringatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) agar pemerintah terus menambah utang semestinya langsung ditindaklanjuti, bukan malah didiamkan dan dianggap sebagai angin lalu karena punya pandangan dan pertimbangan sendiri.

BPK pada akhir Juni lalu mengingatkan potensi gangguan kelangsungan fiskal jika tren penambahan utang terus berlanjut. Lembaga tersebut khawatir pemerintah tidak akan mampu membayar utang lagi karena penerimaan negara merosot, sementara belanja membengkak mengakibatkan defisit melampaui batas yang sudah ditetapkan.

Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya, Andy Fefta Wijaya, pada Jumat (16/7), mengatakan peringatan BPK kepada pemerintah akan potensi terjadinya gagal bayar default adalah langkah yang tepat. Sebab, cicilan pokok dan bunga utang yang harus dibayar pemerintah tiap tahun terus meningkat, apalagi kalau masih terus menambah utang.

"Di sisi lain, kemampuan membayarnya semakin menurun disebabkan income pemerintah yang semakin tergerus akibat pademi Covid-19. Pemerintah harus punya political will yang kuat untuk mengurangi utang," kata Andy.

Evaluasi Kinerja

Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan peringatan BPK itu harus ditindaklanjuti pemerintah maupun korporasi dan swasta agar lebih berhati-hati dalam menarik pinjaman.

Pejabat di pemerintahan, kata Badiul, semestinya tidak berpikir pendek karena mungkin mereka hanya akan menjabat maksimal lima tahun ke depan. Para pejabat semestinya memiliki integritas dan tanggung jawab moral kalau kebijakan yang mereka putuskan saat ini bisa berdampak kurang baik bagi masa depan keuangan negara.

"Saat krisis sebagian besar pejabat di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjadikan penarikan utang sebagai solusi atau jalan pintas karena bingung menyiasati kondisi keuangan negara," kata Badiul.

Pilihan berutang, kata Badiul, juga menjadi bukti pemerintah belum berhasil mendorong pertumbuhan sektor riil atau dunia usaha serta investasi, sehingga sumber penerimaan negara tidak bertumbuh dengan baik.

"Kondisi besar pasak daripada tiang itu terus mereka biarkan karena sudah kecanduan berutang," katanya.

Bahkan, saat menarik pinjaman di kala krisis terkesan jor-joran, banyak pinjaman yang ditarik untuk kebutuhan konsumtif, bukan untuk tujuan produktif seperti investasi. Malah, banyak pinjaman program dari Bank Dunia yang tidak urgent, tetapi tetap ditarik.

Hal itu, katanya, mengacu pada pinjaman Bank Dunia bulan Juni lalu yang dalam sepekan mencapai 1,7 miliar dollar atau setara dengan 24,6 triliun rupiah dengan asumsi kurs 14.489 per dollar AS.

Utang tersebut digelontorkan bertahap untuk mendukung tiga program pemerintah. Pertama pada 11 Juni 2021 sebesar 400 juta dollar AS untuk mendukung reformasi demi memperdalam, meningkatkan efisiensi, dan memperkuat ketahanan sektor keuangan.

Tahap kedua, pada 16 Juni 2021 sebesar 800 juta dollar AS untuk mendanai reformasi kebijakan investasi dan perdagangan, serta membantu percepatan pemulihan ekonomi. Terakhir pada 19 Juni 2021 sebesar 500 juta dollar AS untuk program penanganan pandemi Covid-19, termasuk penguatan sistem kesehatan dan program vaksinasi gratis dari pemerintah.

Menurut Badiul, hanya pinjaman sebesar 500 juta dollar AS untuk membiayai program vaksinasi yang masuk kategori urgent, selebihnya belum terlalu dibutuhkan, sehingga hanya membebani APBN dalam membayar cicilan dan bunganya.

Utang luar negeri Indonesia sendiri per Mei 2021 tercatat sebesar 415,0 miliar dollar AS, turun tipis 2,6 miliar dollar AS atau 0,6 persen dari April 2021 sebesar 417,6 miliar dolar AS. Penurunan itu karena ada pembayaran Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman dalam valuta asing yang jatuh tempo pada Mei 2021.

n SB/ers/E-9

Baca Juga: