JAKARTA - Pemerintah dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 agar mendesain secara seimbang antara pendapatan dan belanja negara. Perlunya desain yang seimbang itu agar bisa menekan defisit anggaran tahun depan yang menuju normalisasi defisit maksimal 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, yang diminta pendapatnya di Jakarta, Jumat (27/8), mengatakan untuk mendorong agar defisit anggaran bisa menyasar target maka pendekatan dari sisi belanja dan penerimaan harus berjalan seimbang.

Dalam draf Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022 yang disampaikan pemerintah ke DPR, defisit ditetapkan sebesar 4,85 persen atau 868 triliun rupiah, sedangkan defisit pada 2023 akan kembali ke level maksimal 3 persen.

Menurut Rendy, dari sisi belanja pemerintah, perlu memastikan bahwa pos-pos belanja nantinya bisa terealisasikan secara penuh dan tepat sasaran. Oleh karena itu, masalah administrasi yang sering menjadi menghambat realisasi belanja sudah bisa diantisipasi karena telah mempunyai pengalaman pada 2020 dan 2021.

Pemerintah, jelasnya, harus terus memperbarui data agar administrasi belanja dapat lebih baik karena akan berimplikasi pada penyaluran berbagai bantuan yang dibutuhkan masyarakat.

Data, katanya, merupakan aspek esensial dalam memastikan belanja dapat tersalurkan dengan benar bukan hanya pada tahun depan, melainkan juga tahun-tahun berikutnya.

"Update reguler dari pemda untuk data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS) penting agar data bansos bisa tersalurkan lebih tepat sasaran," katanya.

Dengan keharusan pada 2023 melakukan transisi defisit anggaran kembali ke level 3 persen maka harus ada basis dasar kebijakan yang kuat untuk mendorong proses pemulihan ekonomi.

"Jika belanja diperlukan melebar dan akhirnya mendorong melebarnya defisit anggaran maka harus dilihat bahwa kebijakan itu diperlukan untuk memperkokoh proses transisi pemulihan ekonomi 2023," jelasnya.

Tetap Fleksibel

Desain APBN saat ini, katanya, harus tetap fleksibel karena dalam periode pemulihan ekonomi ini hanya belanja negara yang mampu menjadi ujung tombak dalam proses pemulihan ekonomi.

"Belanja pemerintah melalui APBN. Hal ini juga sudah dilakukan di tahun lalu dan tahun ini di mana ketika dibutuhkan maka APBN merespons kebutuhan dengan menambah kebijakan dan anggaran yang dibutuhkan," katanya.

Sebelumnya, Peneliti Ekonomi Indef, Riza Annisa Pujarama, menyatakan pandemi Covid-19 kata telah memperburuk kondisi keseimbangan primer karena penarikan utang di 2020 dan 2021 lebih dari 1.000 triliun rupiah.

Kebijakan untuk mengembalikan defisit maksimal 3 persen pada 2023 akan membantu menekan pelebaran defisit keseimbangan primer.

Baca Juga: