Sejumlah negara di Timur Tengah menjadi pasar potensial yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ekspor produk perikanan Indonesia.
JAKARTA - Untuk meningkatkan target ekspor hasil perikanan Indonesia, pemerintah harus memperbanyak pintu ekspor pelabuhan dan bandara. Hal ini harus secepatnya diwujudkan karena keterbatasan pintu ekspor berdampak lamanya waktu pemrosesan dan tingginya biaya.
"Kecepatan sangat penting karena sifat perishable produk perikanan. Pembukaan pintu ekspor baru membutuhkan perubahan regulasi, penyiapan fasilitas bandara/pelabuhan, penambahan jalur penerbangan dan pelayaran, serta konsolidasi muatan untuk mencapai skala ekonomi," kata Chairman Supply Chain Indonesia (SCI), Setijadi, di Jakarta, Rabu (4/8).
Setijadi mengakui ekspor produk perikanan Indonesia pada tahun 2020 tumbuh positif sebesar 5,7 persen dengan nilai 5,2 miliar dollar Amerika Serikat (AS). Indonesia pada posisi ke-8 negara eksportir perikanan dunia di bawah Tiongkok, Vietnam, India, dan Thailand.
Namun, tambah dia, pencapaian ekspor hasil perikanan Indonesia tersebut masih di bawah target sebesar 6,1 miliar dollar AS pada 2020 yang meningkat menjadi 8,2 miliar dollar AS pada 2024.
Sertifikasi Produk
Hal lain yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan ekspor, tambahnya, pemenuhan persyaratan sertifikasi produk perikanan, seperti SKP, HACCP, BRC, BAP, MSC, ASC, dan ISO 22000. Diperlukan dukungan proses dan bantuan biaya sertifikasi produk perikanan, pembangunan laboratorium di sentra produksi perikanan, dan pengembangan sistem ketertelusuran (traceability) dengan sistem informasi terintegrasi.
"Untuk mengatasi penurunan kualitas produk perikanan pada tahap panen, pascapanen, dan pengiriman membutuhkan peningkatan kemampuan penanganan hulu-hilir standardisasi personel. Dibutuhkan juga dukungan fasilitas penanganan (standardisasi teknologi).
Selain itu, tambah dia, masalah yang harus diatasi adalah kapasitas dan teknologi armada penangkapan ikan. Ini masih terkendala, yang berdampak terhadap kualitas dan skala ekonomi sehingga perlu modernisasi armada dengan dukungan permodalan untuk pengadaan kapal dan dukungan industri galangan kapal.
"Yang juga harus diatasi adalah pengenaan tarif bea masuk seperti yang dikenakan negara Uni Eropa di atas 15 persen, sementara beberapa negara lain tidak dikenakan tarif tersebut. Kondisi ini membutuhkan upaya diplomasi," katanya.
Setijadi menjelaskan guna mengatasi semua kendala di atas, membutuhkan integrasi proses semua pihak terkait, yaitu pelaku penanganan produk perikanan, jasa logistik perikanan, operator transportasi, dan operator fasilitas logistik di bandara/pelabuhan. Diperlukan dukungan kementerian/ lembaga terkait, perbankan, dan operator telekomunikasi.
Kepala Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM), Rina, mengatakan sejumlah negara di Timur Tengah menjadi pasar potensial yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan ekspor produk perikanan Indonesia, seperti Oman, Turki, Arab Saudi, Mesir, dan Iran. Merujuk data International Trade Center (2020), selama periode 2017-2019, permintaan rata-rata produk perikanan dari negara-negara Timur Tengah tumbuh sebesar 4,3 persen per tahun.
Nilai impor komoditas perikanan Timur Tengah dalam periode yang sama, rata-rata sekitar 2,64 persen dari total nilai impor komoditas perikanan dunia. "Pada 2017, nilai impor komoditas perikanan Timur Tengah mencapai 3,05 miliar dollar AS dan tahun 2019 meningkat menjadi 3,32 miliar dollar AS atau sekitar 2,67 persen dari total nilai impor komoditas perikanan dunia," katanya.