Sinar matahari hampir selalu bersinar di Tanah Air yang berada di garis khatulistiwa sehingga cocok untuk pengembangan energi surya.

JAKARTA - Listrik sangat penting bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Sebagian besar kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan produksi dan konsumsi, membutuhkan energi dan tenaga listrik.

Bisa dikatakan tersedianya tenaga listrik menjadi syarat mutlak mau tidaknya investor menanamkan modalnya. Karena itu, bagi negara berkembang seperti Indonesia, perekonomian tidak akan tumbuh jika jaminan energi dan pasokan listrik (security of supply) tidak tersedia.

Sayangnya pemerintah bisa dibilang kurang serius dalam memberikan jaminan energi dan pasokan listrik. Kurang serius karena tidak berusaha maksimal untuk meningkatkan kapasitas energi listrik dari Enegri Baru Terbarukan (EBT).

Terlebih pemerintah telah menurunkan target capaian EBT pada 2025 hanya 17-19 persen dari sebelumnya 23 persen.

Pemerintah, selama ini terlalu mengandalkan energi fosil yang jelas-jelas tidak ramah lingkungan. Ini tentu sangat aneh. Bagaimana bisa wilayah yang lokasinya berada di garis khatulistiwa yang mendapat sinar matahari sepanjang tahun seperti Indonesia, masih terdapat daerah yang belum teraliri listrik.

Memang, dalam beberapa tahun terakhir rasio elektrifikasi di Indonesia meningkat lumayan tingi meski itu pun sering terjadi mati listrik yang membuat industri kecil tidak optimal berproduksi. Ini sungguh tidak adil. Bagaimana warga di daerah terpencil bisa bersaing dalam pembangunan berbasis teknologi jika listrik saja mereka tidak punya.

Peneliti Alpha Resarch Database Indonesia, Ferdy Hasiman kepada Koran Jakarta, Senin (22/1) mengatakan, energi surya menjadi pilihan yang harus diakselerasi pengembangannya sebab potensinya sangatlah besar. Apalagi, sinar matahari bersinar sepanjang tahun di Tanah Air yang berada di garis khatulistiwa.

"Pengembangan energi surya sangat tepat. Sebagian daerah di Indonesia misalnya sangat panas, sinar matahari bersinar hampir sepanjang tahun, terlebih itu banyak terjadi di wilayah di Indonesia Timur," kata Ferdy.

Ia menambahkan, pemerintah selama ini selalu beralasan tenaga listrik dari EBT lebih mahal dibanding tenaga listrik dari fosil seperti batubara. Ini jelas pemutarbalikan fakta. Ini jelas jurus berkelit karena tidak serius membangun EBT.

Kenyataannya, EBT lebih efisien dibanding energi fosil. Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) di daerah terpencil biayanya sekitar 31 sen dollar AS per kWh, sedangkan biaya EBT (tenaga surya) hanya 15 sen dollar AS per kWh.

Hal senada juga disampaikan pengamat energi terbarukan dari Universitas Brawijaya, Malang, Suprapto. Menurut dia, EBT jelas lebih murah, terutama di Indonesia. Dengan mengembangkan tenaga surya, cukup memanfaatkan sinar matahari yang bersinar sepanjang tahun.

Suprapto mengatakan pemerintah perlu mewujudkan transisi ke energi terbarukan karena sudah kewajibannya untuk memastikan bahwa penyediaan listrik yang tidak hanya terjangkau, tapi juga bersih. Apakah itu bersumber dari surya, angin, dan lain-lain, bisa disesuaikan dengan ketersediaan dari kondisi yang ada.

Untuk itu, Suprapto mengatakan kebijakan pemberian insentif atau berbagai kemudahan memang dibutuhkan bila suatu negara ingin mempercepat transisi ke energi terbarukan.

"Energi terbarukan memang masih tergolong teknologi baru sehingga produksi dan penerapannya belum begitu massal seperti teknologi lain. Bila pemerintah ingin mencapai target waktu transisi, afirmasi semacam itu harus ada. Tanpa dukungan dan keberpihakan akan berat bagi masyarakat dan industri untuk beralih," kata Suprapto.

Pemberian Insentif

Sebelumnya, peneliti ekonomi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Dandy Rafitrandi mengatakan, pemberian insentif kepada barang atau teknologi untuk transisi energi harus dilakukan.

"Pemerintah dapat memfasilitasi bagaimana tarif impor lebih murah untuk barang atau teknologi untuk energi baru terbarukan dibuat semakin murah, hal ini disebabkan kita memiliki tarif impor yang cukup tinggi untuk barang-barang ramah lingkungan," kata Dandy.

Pemerintah harus bisa melihat barang atau teknologi yang dibutuhkan baik oleh produsen maupun konsumen terkait komponen-komponen untuk menghasilkan barang-barang ramah lingkungan atau berkaitan dengan industri EBT Indonesia.

"Kita harus bisa memberikan insentif atau memfasilitasi lewat regulasi yang mempermudah kepada barang atau produk yang ramah lingkungan dan dibutuhkan untuk transisi energi. Menurut saya, ini bisa memastikan barang-barang tersebut bisa dijual dan dikonsumsi lebih murah oleh masyarakat Indonesia," ujar Dandy.

Sebagai informasi, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, mengatakan pihaknya berkomitmen penuh untuk menyediakan listrik bersih dan terjangkau, serta dapat mencapai target net zero emission (NZE) 2060 melalui berbagai strategi percepatan transisi energi.

Beberapa strategi Kementerian ESDM, yang pertama, memastikan bahwa Indonesia di tahun 2060 masuk menjadi NZE. Kedua adalah memastikan bahwa penyediaan listrik juga tidak hanya dari sisi bagaimana ini harus terjangkau, bagaimana ini harus bersih, tetapi juga sejalan dengan ketersediaan dari yang ada, khususnya dari sisi sumber dayanya.

Baca Juga: