JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia kembali meningkat pada April 2021 menjadi 418,0 miliar dollar AS, atau lebih tinggi dari posisi utang per akhir Maret 2021 yang sebesar 415,6 miliar dollar AS.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (15/6) mengatakan utang tersebut terdiri dari utang pemerintah 206 miliar dollar AS dan utang swasta 209 miliar dollar AS.

Posisi utang pemerintah tinggi dari utang Maret 203,4 miliar dollar AS. Kenaikan utang seiring dengan penarikan neto pinjaman luar negeri untuk pembiayaan program dan proyek, diantaranya program inklusi keuangan.

"Di samping itu, investor asing kembali menempatkan investasi portofolio di pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik," kata Erwin.

Utang mencakup sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib dengan pangsa 17,7 persen. Kemudian, sektor kesehatan dan kegiatan sosial 17,1 persen, pendidikan 16,3 persen, konstruksi 15,3 persen, dan jasa keuangan dan asuransi 12,8 persen.

Sementara ULN swasta pada April 2021 sebesar 209,0 miliar dollar AS turun tipis dari bulan sebelumnya yang sebesar 209,4 miliar dollar AS. Utang tersebut didominasi utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 78,4 persen terhadap total ULN swasta.

Berdasarkan sektornya, ULN swasta terbesar bersumber dari sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas, dan udara dingin, sektor pertambangan dan penggalian, serta sektor industri pengolahan, dengan pangsa mencapai 77,2 persen dari total ULN swasta.

Harus Produktif

Guru besar ekonomi dari Universitas Brawijaya Malang, Candra Fajri Ananda, mengatakan utang yang ditarik, terutama dalam masa pandemi, harus produktif sehingga pembiayaan yang dilakukan dengan utang tersebut kelak bisa menghasilkan penerimaan untuk membiayai cicilan dan bunganya kembali.

"Pada dasarnya hampir sebagian besar negara dalam menghadapi pandemi saat ini berusaha untuk terus melindungi rakyatnya melalui berbagai program perlindungan sosial, insentif dan layanan kesehatan vaksin gratis, dan lain-lain," kata Candra.

Tuntutan agar memberi proteksi ekstra itu membutuhkan jaminan dari pemerintah agar sektor-sektor ekonomi tidak sampai drop parah. Oleh karena itu, berbagai negara melakukan perlindungan pada masyarakat dan sektor ekonominya secara extraordinary.

Sumber pembiayaan kebijakan tersebut tentu utamanya dari penerimaan negara berupa pajak. Namun, dalam masa pandemi produksi sektor ekonomi menurun, sehingga penerimaan pajak otomatis juga turun.

"Pinjaman harus digunakan secara bijak, sektor-sektor yang dibantu saat ini, lebih mudah recovery-nya dan bisa membayar pajak di saat ekonomi sudah mulai pulih," kata Candra. n SB/E-9

Baca Juga: