» Untuk Indonesia, pensiun dini PLTU seharusnya sebelum 2030, kemudian penurunan intensitas emisi.

» Investor butuh kisah sukses bagaimana pemerintah, PLN, dan pihak lain seperti ADB berhasil menjalankan transisi energi.

TBILISI - Indonesia sedang memfinalisasi paket pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap batu bara (PLTU) berkapasitas 660 megawatt yang akan menjadi proyek percontohan untuk transisi energi.

Hal itu disampaikan Menteri Keuangan (Menkeu) Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, dalam Business Session Dewan Gubernur Asian Development Bank (ADB) di Tbilisi, Georgia, Minggu (5/5).

Menkeu pun berharap proyek tersebut sukses, supaya bisa direplikasi di pembangkit listrik tenaga batu bara lainnya.

Dalam kesempatan itu, dia juga mengundang negara dan pihak lain untuk mendukung kebutuhan finansial guna melakukan transisi energi dari fosil ke energi ramah lingkungan di Indonesia.

"Mengingat besarnya kebutuhan finansial untuk transisi energi, kami ingin mengundang negara dan pihak lain untuk mendukung kami," katanya.

Lebih lanjut, dia mengatakan transisi ke energi terbarukan menghadirkan tantangan yang berat karena kebergantungan Indonesia yang tinggi pada batu bara dan sumber daya tak terbarukan lainnya.

Meskipun kebutuhan untuk beralih ke energi terbarukan, biayanya tinggi dan menimbulkan beban keuangan negara secara signifikan, namun Indonesia tetap berkomitmen mencapai target 66 persen energi terbarukan pada 2050.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, berharap proses pensiun dini PLTU tersebut berjalan sesuai rencana dan tidak meleset dari target yang telah ditetapkan. Untuk proses pensiun dini PLTU Cirebon 1 sudah berjalan selama dua tahun dan diharapkan pada Juni tahun ini sudah sampai pada financial close.

"Saya harap tidak mundur lagi karena ini proyek early retirement pertama yang didanai oleh Energy Transition Mechanism (ETM) yang dikelola PT SMI (PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero)," kata Fabby.

Fabby pun meminta pemerintah agar mempercepat pembatasan dan mengurangi konsumsi energi fosil khususnya dari batu bara sebelum 2030. Secara pararel, pemerintah harus meningkatkan tiga kali kapasitas energi terbarukan dan menggandakan laju efisiensi energi hingga 2030.

Untuk Indonesia, jelasnya, pensiun dini PLTU seharusnya sebelum 2030, kemudian penurunan intensitas emisi kelistrikan dan akselerasi energi terbarukan 40 hingga 45 persen dari bauran energi tercapai pada 2030, agar Indonesia berada pada jalur yang sesuai dengan Paris Agreement.

Sementara itu, Peneliti Lingkungan dari Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi, mengatakan dalam menghadapi perubahan iklim selain mitigasi klasik juga perlu program adaptasi atas perubahan-perubahan yang terjadi.

Hafidz mencontohkan kasus yang ekstrem bisa dipelajari dari Dubai yang mana hujan anomali yang terjadi dan dilewati awan intensif bersamaan dengan jalur badai menyebabkan terjadi banjir yang melanda kota.

Meskipun tidak bertahan lama, tetapi kerugian atas kerusakan-kerusakan cukup tinggi mengingat yang terkena dampak adalah kawasan padat penduduk dan ekonomi dengan mobilitas tinggi.

"Di Indonesia, cuaca ekstrem juga sempat terjadi di Bandung yang gelombang anginnya diduga sudah mencapai level tornado. Negara-negara yang sudah terbiasa dengan banjir dan tornado pasti telah memiliki sistem pencegahan yang advance.

Sinyal Positif

Di kesempatan lain, pengamat energi Universitas Gadjah Mada, M. Fahmi Radhi, mengatakan finalisasi paket pensiun dini PLTU 660 MW Cirebon menjadi kabar baik bagi transisi energi di Indonesia.

"Semoga saja misi transisi energi akan tercapai sesuai target. Jadi, ini kabar baik sekali untuk Indonesia," kata Fahmi.

Kesepakatan dengan ADB juga menjadi sinyal positif bagi investor untuk menanamkan modalnya di industri energi terbarukan di Indonesia. Sehingga, usai keberhasilan pensiun dini PLTU Cirebon ini dan diganti dengan EBT hal ini bisa jadi contoh nyata yang mengakselerasi transisi.

"Investor butuh kisah sukses bagaimana pemerintah dan juga pihak lain seperti ADB sukses menjalankan transisi energi. Contoh sukses ini lebih dari sekadar pidato," tandas Fahmi.

Baca Juga: