» Kalau tidak bisa menjamin akses pelaku usaha ke EBT maka investor akan kabur.
» RI tengah mengkaji mekanisme pembiayaan yang tepat guna mewujudkan transisi energi.
JAKARTA - Usaha pemerintah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan harus diikuti dengan desain kebijakan yang bisa menarik banyak investasi ke dalam negeri. Salah satu prasyarat yang harus dipenuhi pemerintah agar investor berbondong-bondong datang ke Indonesia adalah jaminan pada akses memanfaatkan energi bersih yang ramah lingkungan khususnya energi baru terbarukan.
Direktur Eksekutif Institute for Essential and Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa, yang diminta pendapatnya di Jakarta, Kamis (17/2), mengatakan, ke depan masyarakat global menuntut industri hijau yang berbasis pada ekonomi sirkular dan energi terbarukan.
"Investor akan masuk ke satu negara jika dia mendapat akses ke energi bersih untuk menghasilkan produknya yang selanjutnya dilepas ke pasar global. Jadi, buyer akan berminat jika dalam proses produksi menggunakan energi ramah lingkungan," kata Fabby.
Sebaliknya, kalau produknya masih menggunakan energi fosil dalam proses produksinya maka produknya akan dibeli murah sehingga berpotensi merugi. "Kalau Indonesia tidak bisa menjamin akses pelaku usaha atas energi terbarukan maka investor akan kabur dari Indonesia dan beralih ke negara lain," kata Fabby.
Dia pun memahami keterbatasan pembiayaan pemerintah saat ini, sehingga perlu berkolaborasi dengan pelaku usaha untuk mengembangkan energi baru terbarukan secara besar-besaran.
"Buka kesempatan sebesar-besarnya bagi pelaku usaha untuk mengembangkan energi terbarukan dan mendorong pengembangan industri teknologi rendah karbon, sehingga dapat memasok kebutuhan teknologi seperti modul surya, generator, turbin, gasifier, motor listrik, dan sebagainya," kata Fabby.
Senada dengan Fabby, Pakar Ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan perlu upaya mendorong investasi di bidang EBT mengingat untuk transisi ke energi bersih memerlukan dana yang cukup besar.
"Semua potensi renewable energy harus dimanfaatkan. Tentu dengan menggandeng investor akan sangat membantu karena teknologinya memang membutuhkan biaya. Maka pemerintah perlu membuat kebijakan yang ramah investasi terhadap sektor EBT ini," kata Wibisono.
Regulasi yang dikeluarkan harus bisa menarik calon investor. Mereka harus diyakinkan bahwa investasinya bisa menguntungkan. Dukungan kebijakan itu bisa berupa insentif, supaya investor tertarik menanamkan modalnya. Dengan semakin meluasnya penggunaan EBT diharapkan biaya produksinya semakin murah, sehingga masyarakat makin tertarik untuk bermigrasi.
Mekanisme Pembiayaan
Sementara itu, Presiden COP26 United Kingdom, Alok Sharma, saat bertemu dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan telah menindaklanjuti hasil Konferensi COP26 di Glasgow, beberapa waktu lalu, yang menghasilkan Glasgow Climate Pact.
Sharma menyatakan pihaknya berkomitmen mengimplementasikan kesepakatan tersebut dengan seluruh stakeholders, termasuk dengan President Designate COP27 Mesir dan Presidensi G7 Jerman. Dia juga yakin, bersama Presidensi G20 Indonesia akan tercapai sinergitas di berbagai sektor dan isu dalam rangka penanganan perubahan iklim dan menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) secara global.
Untuk itu, pihaknya siap untuk mendukung Indonesia dalam rangka implementasi kesepakatan Glasgow tersebut seiring dengan Presidensi di G20.
Menko Perekonomian pada kesempatan itu mengatakan sinergi COP26 dengan G20 sebagai upaya menuju net zero emission, dan transisi energi serta kerja sama dalam konteks hubungan bilateral Indonesia-Inggris.
Berkaitan dengan transisi energi, Indonesia, kata Airlangga, tengah mengkaji mekanisme pembiayaan yang tepat guna mewujudkan langkah transformatif tersebut. Hal itu perlu dibarengi dengan upaya mendorong investasi di bidang renewable energy yang saat ini tengah dikembangkan di berbagai daerah di Indonesia (antara lain hydropower dan solar), termasuk teknologi carbon capture and storage yang membutuhkan pembiayaan besar.
Sejalan dengan Glasgow Climate Pact, Indonesia pun telah meluncurkan skema pembiayaan inovatif dalam rangka mempercepat penutupan pembangkit listrik berbasis batu bara dengan menggandeng ADB melalui Energy Transition Mechanism serta pemanfaatan gas amonia untuk pembangkit listrik.