Untuk meningkatkan investasi, beberapa hal yang harus menjadi perhatian serius pemerintah, di antaranya korupsi, inefisiensi birokrasi, ketersediaan infrastruktur, stabilitas politik, inkonsitensi kebijakan, dan regulasi perpajakan.

JAKARTA - Pemerintah perlu segera memacu Penanaman Modal Asing (PMA) yang turun 8,1 persen secara tahunan (yoy) pada semester I-2020 menjadi 195,6 triliun rupiah. Sebab, investasi saat ini sangat diharapkan menjadi pendorong perekonomian nasional di tengah melemahnya kinerja ekspor dan konsumsi domestik.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Bidang Hubungan Internasional, Shinta Widjaja Kamdani, pesimistis pemerintah mencapai target ekonomi tahun ini tanpa adanya arus investasi besar, kuat, dan berkelanjutan. Menurutnya, tingginya saving investment gap dengan negara lain menunjukkan besarnya kebutuhan investasi dalam perekonomian Indonesia yang tidak bisa dipenuhi dengan ketersediaan tabungan dalam negeri.

Selain itu, saving rate di Indonesia juga masih sangat rendah, di kisaran 30-33 persen. Hal itu membuat Indonesia tidak memiliki cukup dana di dalam negeri untuk memodali pembangunan infrastruktur pendukung, stabilitas pertumbuhan, dan industrialisasi ekonomi nasional.

"Mau tidak mau, kita juga memerlukan dana asing untuk mempercepat proses tersebut," ujar Shinta dalam diskusi virtual, di Jakarta, Minggu (9/8).
Untuk menggaet investasi asing, lanjutnya, diperlukan upaya menjalin kemitraan. Dia menegaskan, sejak awal, Kadin selalu mendukung konsep kemitraan dalam menarik foreign direct investment (FDI).

"Jadi, kalau kita bilang menarik investor asing, itu bukan berarti investor asing masuk sendiri. Tetapi juga bermitra dengan investor lokal. Ini yang banyak kami promosikan pada saat ini," jelasnya.

Pada kesempatan sama, ekonom senior Universitas Indonesia, Aviliani, mengatakan investasi asing dibutuhkan karena masih terjadi saving investment gap cukup besar. Menurutnya, Indonesia masih membutuhkan investasi besar untuk membangun infrastruktur dan ekonomi.

Untuk meningkatkan investasi, menurutnya, ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian pemerintah, di antaranya korupsi, inefisiensi dalam birokrasi, ketersediaan infrastruktur, stabilitas politik, kebijakan pemerintah yang sering tidak konsisten, dan kebijakan perpajakan. "Ini masalah klasik yang dari dulu sampai sekarang masih ada,"ujar Aviliani.

Dia menambahkan, tingkat efisiensi di Indonesia dinilai masih tinggi sehingga dinilai dapat menghambat investasi. Indikasi tersebut terlihat dari incremental capital output ratio (ICOR). Pada 2019, skor ICOR Indonesia 6,57. "Ini (ICOR) menjadi salah satu parameter yang menunjukkan tingkat efisiensi investasi di satu negara," jelasnya.

Prosedur Rumit


Dia menilai tingkat kemudahan berbisnis di Indonesia juga masih sangat rendah. Pada 2020, Indonesia berada pada peringkat 73 dunia. Dia mengungkapkan prosedur memulai bisnis di Indonesia cukup banyak, mencapai 11. Angka tersebut, lanjutnya, jauh dari rata-rata di Asia Timur dan Pasifik.

Tak hanya itu, ujar Aviliani, tingkat produktivitas terus turun dari waktu ke waktu. Menurutnya, hal ini perlu menjadi perhatian khusus, mengingat era ke depan adalah mengarah ke global value chain (GVC). Setiap negara harus mencari potensi industri kompetitif.

"Untuk isu ketenagakerjaan, sekitar 58 persen tenaga kerja di Indonesia berpendidikan rendah dan tidak memiliki skill (keahlian). Karenanya, diperlukan pelatihan dalam menyambut investasi baru. Bila ini tidak dilakukan, akan terjadi kesenjangan, dan pertumbuhan tinggi tidak diikuti dengan pemerataan," pungkasnya.

uyo/E-10

Baca Juga: