JAKARTA - DPR meminta pemerintah harus tetap menjaga likuiditas dan mengukur inflasi. Hal itu agar dunia usaha tetap bertahan serta masyarakat tidak masuk ke kelompok miskin absolut. Ini merespons kondisi dunia yang tengah menghadapi krisis sehingga memicu inflasi akibat gangguan dari rantai pasok global selama pandemi Covid-19 dan konflik geopolitik.

Anggota Komisi XI DPR, Muhammad Misbakhun, menegaskan meskipun penyebab dari inflasi tersebut sama, setiap negara memiliki reaksi yang berbeda-beda dalam penentuan kebijakannya.

"Strategi pembatasan, vaksinasi, dan bantuan sosial ekonomi melalui insentif maupun subsidi dilakukan dengan cara yang khas negaranya masing-masing," ujar Misbakhun, di Jakarta, akhir pekan kemarin.

Oleh karena itu, lanjutnya, kebijakan yang ditempuh negara lain dalam menghadapi inflasi hal itu jangan serta-merta ditiru oleh Indonesia. Pemerintah pun dinilainya sampai saat ini belum dapat mengukur kapan pandemi dapat dinyatakan telah berakhir dan kehidupan bisa perlahan pulih menuju normal.

"Pemerintah sejauh ini telah memberikan subsidi melalui perlindungan sosial agar masyarakat miskin tidak jatuh menjadi kelompok miskin absolut. Kebijakan fiskal tersebut diiringi upaya pemerintah dalam menaikkan penerimaan negara maupun refocusing dan realokasi anggaran," urai Misbakhun.

Kebijakan Moneter

Di sisi lain, kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia (BI) juga harus memberikan insentif bagi dunia usaha agar suku bunga dapat sesuai dengan kondisi pasar yang belum sepenuhnya pulih. Dengan demikian, daya beli masyarakat juga mampu terjaga dan ekonomi kembali bergerak khususnya pada UMKM yang menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

"Dengan kebijakan yang tidak tumpang tindih satu sama lain tersebut, pemerintah dapat mencegah kenaikan kemiskinan secara signifikan ataupun menjaga kesinambungan dunia usaha," ujar Anggota Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR ini.

Selain itu, tambah dia, kebijakan fiskal dan moneter harus mampu membentuk keseimbangan baru karena ketidakseimbangan hanya akan menimbulkan ketidakseimbangan baru.

Dengan kondisi pandemi yang belum mereda, tambahnya, pemerintah harus memastikan agar kebijakan yang disusun tidak memberikan tekanan yang berat bagi dunia usaha dan masyarakat.

"Jangan sampai pemulihan yang kini berjalan baik justru menjadi memburuk akibat kebijakan yang tidak sesuai dengan kondisi riil yang terjadi saat ini," pesan legislator daerah pemilihan (dapil) Jawa Timur II itu.

Dalam kesempatan terpisah, Anggota Komisi XI DPR Hendrawan Supratikno menyampaikan perlu adanya kebijakan yang tepat untuk menghadapi krisis perekonomian dunia saat ini, terutama inflasi.

Perlu diketahui, saat ini The Fed (Bank Sentral Amerika Serikat) telah menaikkan suku bunganya pada bulan Juni 2022 sebesar 1,5-1,75 persen. Oleh karena itu, BI di sektor moneter harus bersiaga dan waspada agar nilai rupiah tidak jatuh terlalu jauh, termasuk kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan beberapa kementerian terkait lainnya.

"Ketika pandemi pada bulan April-Mei 2020, rupiah sempat menyentuh 17.000 rupiah. Jadi, ini sebabnya kita harus hati-hati. Jadi, kebijakan BI di sektor moneter, kebijakan Menteri Keuangan di sektor fiskal, kemudian kebijakan menteri lain terkait di sektor riil dan administratif harus berjalan dengan sinergi agar tercipta harmonisasi kebijakan yang berjalan dengan baik," ujar Hendrawan.

Baca Juga: