» IRA tawarkan kredit pajak miliaran dollar AS kepada perusahaan baterai yang diekstraksi di AS.

» Korea Selatan berencana menggunakan RI sebagai pusat global utama untuk produksi kendaraan listrik.

JAKARTA - Pemerintah diminta lebih membuka diri dalam mengundang investor baterai kendaraan listrik (electronic vehicle/EV), bukan hanya dengan Tiongkok, tapi juga negara-negara lain. Hal itu bertujuan agar nikel produksi Indonesia bisa diterima di dunia.

Pakar ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Bambang Budiarto, mengatakan tidak bisa dipungkiri kalau negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara Eropa saat ini telah menjadi pemain utama dalam industri baterai dan mobil listrik.

Mereka memiliki perusahaan-perusahaan besar, seperti BYD, CATL, LG Chem, Panasonic, Tesla, dan lain-lain yang telah menginvestasikan sumber daya dan teknologi dalam pengembangan baterai dan mobil listrik.

"Mencermati hal tersebut, tentunya lebih menguntungkan bagi kita apabila membuka pintu kompetisi di antara mereka dalam berinvestasi di Indonesia, untuk kemudian nantinya kita bisa menentukan, memilih yang terbaik dan paling bersaing, paling efisien, dan yang paling menguntungkan bagi industri dan konsumsi dalam negeri," kata Bambang.

Apalagi AS sebagai produsen mobil listrik terbesar dunia sudah mengenakan tarif yang tinggi dan tidak akan membeli baterai dari perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh Tiongkok.

Sebagai informasi, proyek pengembangan industri berbahan nikel di Indonesia dikuasai Tiongkok yang diduga bekerja sama dengan para kroni. Makanya, beberapa waktu lalu ada perusahaan Korea Selatan, Posco, yang membangun pabrik baterai dari bahan nikel di Indoensia, tetapi belum tentu laku di pasaran. Pabrik yang dibangun Korea itu bahan bakunya masih di bawah kendali perusahaan Tiongkok. Kini, perusahaan Korea itu bingung karena sebagian besar produksi dilempar ke AS sebagai produsen terbesar mobil listrik.

Undang-Undang Pengurangan Inflasi AS atau Inflation Reduction Act (IRA) menawarkan kredit pajak miliaran dollar AS kepada perusahaan baterai hanya jika persentase tertentu dari nilai mineral penting yang terkandung dalam produk mereka diproses atau diekstraksi di AS atau oleh mitra dengan perjanjian perdagangan bebas.

Kalau AS menolak membeli baterai dari Indonesia maka industri nikel akan susah berkembang karena hanya bisa dijual di negara-negara Asia khususnya Asia Tenggara.

"Korea Selatan berencana menggunakan Indonesia sebagai pusat global utama untuk produksi kendaraan listrik. Tapi tanpa konsesi dari AS, itu akan sulit. Paling-paling Indonesia bisa berakhir sebagai pusat produksi regional," kata Kyunghoon Kim, peneliti di Korea Institute for International Economic Policy, seperti dikutip dari Financial Times.

Tidak Ragu

Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, kepada JP Ong dari CNBC, mengatakan investor harus mempertimbangkan berinvestasi di Indonesia karena peluang dari energi terbarukan hingga sumber daya mineral seperti nikel, tembaga, dan kobalt sangat terbuka.

"Selama pandemi, kami berhasil menjaga pertumbuhan kami. Tahun lalu, kami tumbuh 5,3 persen dan tahun ini mungkin mencapai 5,4 persen. Inflasi tahun lalu mencapai lebih dari 5 persen, dan tahun ini diperkirakan kita akan dapat di bawah 4 persen. Artinya, kami bisa mengelola ekonomi kami dengan sangat baik. Ini sekali lagi akan memberi kepercayaan pada investor dan saya tidak meragukan Foreign Direct Investment (FDI) akan membawa dana ke Indonesia," kata Luhut.

Terutama dalam isu dekarbonisasi saat ini, Indonesia, kata Luhut, memiliki begitu banyak sumber energi terbarukan dengan 430 gigawatt, seperti geotermal, panel surya, pembangkit tenaga angin, tenaga air, dan lain-lain.

"Saya juga baru kembali tur sembilan hari di Tiongkok, mengunjungi industri-industri di sana, mereka tertarik. Karena kami punya bauksit, kobalt, nikel, dan lainnya. Biaya di Indonesia lebih murah dan kami pro lingkungan. Saya telah berbicara dengan banyak investor dan mereka tertarik. Sistem investasi kami sudah transparan. Kalau ada masalah, mereka bisa datang ke saya dan bicara," kata Luhut.

Indonesia, kata Luhut, juga telah menyiapkan ekosistem sehingga tidak hanya sekadar mengundang investor untuk membangun satu pabrik, tapi seluruh ekosistem, seperti untuk industri baterai kendaraan listrik.

Baca Juga: