JAKARTA - Pemerimtah harus bisa mewujudkan penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) secara masif di Tanah Air. Untuk itu, pemerintah harus membuka sebesar-besarnya investasi produksi solar panel dalam negeri sehingga harganya makin murah dan mendorong pemakaian skala industri.

"Tren dunia kan energi terbarukan. Jadi, kalau di hulu yakni produksinya dimudahkan investasi dan pajaknya. Sementara di hilir yakni di konsumen misalnya diberi subsidi, tentu akan makin cepat adopsi solar panel di industri dan rumah tangga," kata ekonom energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmi Radhi, kepada Koran Jakarta, Selasa (2/7),

Hal ini dilakukan agar bisa menekan jumlah penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang memakai batu bara. Fahmi mengatakan kalau mau mengembangkan EBT seperti solar cell, tantangannya adalah di harga sampai ke skala keekonomian. Ini yang harus didorong oleh pemerintah dengan aneka kebijakan fiskal.

Fahmi menyayangkan skema jual beli listrik dari PLTS Atap di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 2 Tahun 2024. Pada regulasi baru ini, skema ekspor-impor listrik dihapus, yang berarti pengguna PLTS Atap tidak lagi dapat menjual kelebihan listrik mereka ke PLN untuk mengurangi tagihan listrik mereka. Hal itu makin menghambat pengembangan pemakaian PLTS Atap di Indonesia.

Pemerintah sebenarnya memiliki target PLTS Atap sebesar 3,6 GW pada 2025 dengan mengarahkan pemanfaatan PLTS Atap lebih kepada industri daripada rumah tangga, mengingat konsumsi listrik industri lebih stabil sepanjang hari.

Sulit Dicapai

Sementara itu, pengamat EBT dariInstitut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, yang juga anggota Dewan Energi Nasional (2009-2014), Mukhtasor, mengatakan pencapaian target bauran energi nasional sebesar 23 persen yang ditetapkan oleh PP 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) tampaknya sulit dicapai.

"Diharapkan regulasi-regulasi yang sedang disiapkan untuk mengadopsi EBT dapat membantu meningkatkan kontribusi energi terbarukan pada bauran energi nasional," tutur Mukhtasor.

Apa yang disampaikan Fahmi dan Mukhtasor ini menanggapi laporan lembaga pemantau energi yang berbasis di London, Ember, pada Senin (1/6). Laporan Ember menyebutkan penggunaan batu bara dalam pembangkit listrik di Indonesia dan Filipina mencapai rekor tertinggi yaitu hampir 62 persen pada tahun 2023. Tidak ada tanda-tanda melambat, meskipun kedua negara memiliki potensi tenaga surya dan angin yang melimpah.

Dikutip dariThe Straits Times, Ember mengatakan batu bara menghasilkan hampir dua pertiga listrik di dua negara dengan jumlah penduduk terbesar di Asia Tenggara. Di Filipina, pangsa batu bara dalam pembangkit listrik meningkat dari 59,1 persen pada tahun 2022 menjadi 61,9 persen pada tahun 2023. Porsi batu bara di Indonesia sedikit meningkat menjadi 61,8 persen.

Hal ini menunjukkan peningkatan ketergantungan pada batu bara di kedua negaraAssociation of Southeast Asian Nations (Asean) tersebut ketika kawasan tersebut didesak oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mempercepat peralihan ke energi hijau atau berisiko kehilangan target untuk memangkas emisi gas rumah kaca.

Baca Juga: