JAKARTA - Pemerintah harus punya keberanian dan kemauan politik (political will) memberantas para rent seeker dan mafia pangan yang selama ini mendapat keuntungan terutama dari impor dan distribusi pangan. Perlunya memberantas mereka karena kelompok-kelompok tersebut terus berupaya mempengaruhi keputusan pemerintah agar lebih memilih impor pangan, ketimbang memacu produktivitas produksi dalam negeri.

Dengan impor, mereka mendapat keuntungan ditambah dengan biaya untuk mendistribusikan. Para distributor itu pun kerap mengatur pasokan sehingga terlihat langka di pasaran yang berakibat pada kenaikan harga dan pada akhirnya memaksa pemerintah menambah kuota impor yang menguntungkan mereka.

Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan kondisi tersebut makin parah karena harga beras di pasar global mencatat titik tertinggi dalam 15 tahun terakhir di tengah meningkatnya kekhawatiran dampak El Nino. Hal itu menyebabkan pasokan beras semakin ketat, apalagi beras merupakan makanan pokok miliaran penduduk di Asia dan Afrika.

Mengutip Bloomberg, Kamis (21/12), menurut Asosiasi Eksportir Beras Thailand, harga beras putih Thailand kategori white rice 5 persen broken, yang merupakan patokan Asia, naik 2,5 persen menjadi 650 dollar Amerika Serikat (AS) per ton pada Rabu (20/12) dibandingkan pekan sebelumnya.

"Tren harga beras di pasar global meningkat karena terbatasnya stok beras di pasar global. Ditambah larangan ekspor beras dari India, meski sudah agak longgar, tapi dampak supply beras berkurang masih terasa saat ini, sehingga Indonesia sebagai pengimpor beras terdampak juga dengan naiknya harga beras di pasar domestik," kata Esther.

Sebab itu, dia mengimbau Bulog segera melakukan operasi pasar karena stok beras di ritel mulai berkurang, bahkan di supermarket besar pun masih dibatasi pembelian maksimal 2 bungkus untuk kemasan 5 kilogram (kg). "Jika pemerintah menetapkan HET di RI itu hanya langkah sementara untuk memancing distributor beras mengeluarkan stoknya. Kendati demikian, itu belum efektif karena setiap kg yang masuk (impor-red) ada margin yang diambil untuk mafia," katanya.

Hal yang diharapkan sebenarnya adalah kebijakan jangka panjang untuk meningkatkan produksi beras hingga bisa mencapai swasembada beras. "Kalau yang sekarang ini bisnis untuk rent seeker, sehingga tidak ada good will untuk produksi beras sendiri, lebih suka impor (solusi praktis dan cepat serta menguntungkan untuk mafia itu). Menurut saya, solusinya harus jangka panjang, peningkatan produksi beras dalam negeri, regulasi yang kondusif untuk pembangunan sektor pertanian, peningkatan kapasitas produksi peningkatan kapasitas marketing dan menciptakan alternatif penghidupan untuk petani sehingga mempunyai pendapatan sampingan.

Tata Niaga

Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan mengingat beras adalah komoditi vital maka perlu perencanaan dan kebijakan strategis yang mendukung kelancaran produksi dalam negeri dan distribusi (tata niaga).

"Hal ini penting, bukan hanya harganya stabil, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan petani yang tecermin di antaranya dalam kenaikan Nilai Tukar Petani (NTP)," ungkap Awan.

Baca Juga: