Undang-Undang Keamanan Siber perlu segera dibuat untuk memperjelas tanggung jawab dalam situasi serupa di masa depan.

JAKARTA - Pemerintah wajib bertanggung jawab atas jebolnya data nasional akibat peretasan beberapa waktu lalu. Jebolnya data nasional ini menunjukkan pemerintah gagal melindungi data pribadi penduduk Indonesia.

"Sebagai konsekuensi, pemerintah secara nyata telah melanggar UU Pelindungan Data Pribadi. Jebolnya Pusat Data Nasional Sementara merupakan kegagalan pemerintah, dalam hal ini Menkominfo dan Presiden Jokowi, dalam melindungi data dan diri pribadi penduduk Indonesia, yang merupakan perintah langsung konstitusi," ujar Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan, kepada Koran Jakarta, Minggu (7/7).

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) perlu menjamin pelayanan publik yang lebih optimal di era digital. Pemerintah perlu mendorong pembangunan infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sesuai arsitektur Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE).

Anggota Komisi I DPR RI, Bobby Adhityo Rizaldi, prihatin sekaligus mengapresiasi mundurnya Dirjen Aplikasi Informatika (Aptika) Kominfo, Semuel Abrijani Pangerapan. Namun, dirinya juga menyayangkannya karena Dirjen itu kan yang melaksanakan kebijakan saja.

Negara, dalam hal ini Kominfo, sebagai lembaga negara yang diberikan tanggung jawab melaksanakan pembangunan PDN dan pusat data nasional sementara (PDNS), harus segera memulihkan pelayanan publik yang terdampak atas serangan ransomware ini. "Mundurnya Dirjen Aptika, bukan berarti Kominfo lepas tanggung jawab, ini adalah tanggung jawab bersama sebagai lembaga negara," ujar Bobby.

Lebih lanjut, Bobby mengusulkan perlunya segera dibuat Undang-Undang (UU) Keamanan Siber untuk memperjelas tanggung jawab dalam situasi serupa di masa depan. Menurutnya, urusan keamanan siber hendaknya tidak berada di bawah Kominfo, melainkan dikelola oleh lembaga negara baru yang dibentuk melalui UU, mirip dengan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), namun bukan dibentuk melalui peraturan presiden (perpres).

"Ke depan, segera dibuat UU keamanan siber sehingga jelas siapa yang harus bertanggung jawab atas keadaan seperti ini. Di masa depan, urusan keamanan siber hendaknya bukan di Kominfo, tapi lembaga negara baru yang dibentuk UU atau seperti BSSN (tapi bukan dibentuk dengan Perpres)," jelasnya.

Bobby juga menilai Kominfo seharusnya lebih diarahkan pada pembangunan infrastruktur TIK sesuai arsitektur SPBE, dan pembentukan lembaga standardisasi pengelola data yang merupakan amanat UU Perlindungan Data Pribadi (PDP).

"Kominfo fokus pada pembangunan infrastruktur TIK, sesuai arsitektur SPBE, dan lembaga standardisasi pengelola data - amanat UU PDP, segera dibentuk, dan juga Lembaga keamanan siber yang dibentuk dengan UU. Lengkap sudah ini," tambahnya.

Selain itu, Boby mengungkapkan sejumlah langkah strategis dan kolaboratif antarlembaga sangat diperlukan untuk memastikan keamanan dan pelayanan publik yang optimal di era digital ini.

Perkuat SDM

Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Utut Adianto, mendesak agar Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) harus lebih kuat dalam melindungi infrastruktur vital nasional dari serangan siber yang dapat mengganggu stabilitas dan keamanan negara. Hal itu dia sampaikan usai memimpin Tim Kunjungan Kerja Spesifik (Kunspek) Komisi I DPR RI ke BSSN Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis, (4/7)

Untuk itu, lanjut Utut, BSSN perlu mengembangkan keterampilan dan kompetensi SDM yang berkualitas dan responsif terhadap kemajuan teknologi informasi, membangun infrastruktur keamanan siber yang kuat, hingga regulasi yang implementatif.

Baca Juga: