JAKARTA - Kebijakan sejumlah lembaga keuangan global untuk menolak pembiayaan ke proyek-proyek pembangunan pembangkit listrik yang berbahan bakar energi fosil seperti batu bara seharusnya diikuti pemerintah dalam menetapkan pengembangan energi di masa depan.

Pemerintah diminta untuk mulai menarik diri dengan membatalkan proyek-proyek yang menggunakan bahan bakar fosil dan beralih membangun pembangkit listrik yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) atau renewable energy.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudisthira menilai mestinya kebijakan ke depan lebih mengarah kepada EBT sebab pemerintah sendiri tengah menyusun Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) hijau dengan meningkatkan porsi EBT dalam bauran energi sebesar 48 persen.

Selain itu dari sisi pendanaan juga lebih bagus, karena lembaga keuangan global sudah menarik diri dari pendanaan terhadap energi kotor. Mereka cenderung mendukung pengembangan EBT sehingga tak ada masalah pendanaan dibanding mendorong energi gas.

"Makanya pemerintah harus mendorong EBT ini dalam bentuk insentif fiskal dan sebagainya. EBT ini juga sesuai dengan rencana global untuk menurunkan emisi karbon menjadi 0 persen pada 2050," kata Bhima.

Senada dengan Bhima, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti mengatakan renewable energy pasti lebih ramah lingkungan, karena biasanya dari air, angin, tenaga surya, dan sejumlah jenis EBT lainnya.

Indonesia jelasnya memiliki banyak sumber daya yang bisa diolah menjadi renewable energi seperti air, angin, sinar matahari, sampah, dan sebagainya. Memang, tantangannya pada teknologinya yang biasanya mahal di awal investasi, namun untuk jangka panjang dengan skala produksi yang makin besar akan membuat biaya produksi rata rata makin kecil.

Tantangan lainnya jelas Esther adalah keterikatan pemerintah dalam berbagai kontrak sebelumnya untuk membangun pembangkit berbasis bahan bakar fosil, sehingga enggan mengalihkan ke renewable energi.

"Kontrak penyediaan energi biasanya sudah terlanjur menggunakan nonrenewable energy jika diputus di tengah jalan agak sulit, takut kena pinalti. Jadi perlu kemauan dan komitmen kuat untuk memproduksi renewable energy," katanya.

Proyek Mangkrak

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sendiri menyebutkan ada 12 proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara dibatalkan karena proyeknya mangkrak. Mangkraknya pembangunan proyek tersebut karena lembaga keuangan asing enggan membiayai pembangkit listrik yang menggunakan energi fosil seperti batu bara.

Selain 12 proyek yang dibatalkan karena mangkrak, juga terdapat 43 unit pembangkit yang termasuk dalam proyek 35 ribu megawatt sudah meneken kontrak, namun belum melakukan konstruksi.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Rida Mulyana mengatakan banyak lembaga keuangan asing yang tidak mau lagi mendanai proyek-proyek energi fosil karena ada kebijakan global untuk memberi prioritas pembiayaan pada energi hijau.

"Lembaga keuangan di luar negeri banyak yang mendeclare tidak akan lagi membiayai, artinya proyek itu tidak akan terlaksana," kata Rida.

n ers/E-9

Baca Juga: