JAKARTA - Kebijakan pemerintah dengan terus memperbesar penarikan utang tiap tahun dinilai sangat membebani keuangan negara. Kementerian Keuangan sebagai otoritas fiskal semestinya membuat desain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang lebih efisien dengan mengoptimalkan penagihan piutang negara seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan meminta moratorium bunga obligasi rekap.
Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya, Malang, Andy Fefta Wijaya, yang diminta pendapatnya dari Jakarta, Jumat (21/5), mengatakan tidak setuju dengan rencana pemerintah menarik utang baru pada 2022 mendatang sebesar 879 triliun rupiah untuk menutup defisit APBN.
"Sebaiknya dilakukan efisiensi besar-besaran terhadap program dan kegiatan pemerintah. Memangkas biaya birokrasi seperti perjalanan dinas dalam dan luar negeri, serta pembiayan proyek insfrastruktur seharusnya bisa dilakukan tanpa menggunakan APBN. Bisa dengan skema partnership yang melibatkan Indonesia Investment Authority (INA) atau menggaet investor swasta potensial, baik dari dalam maupun luar negeri," kata Andy.
Untuk memaksimalkan penagihan piutang BLBI, dia berharap pemerintah mengoptimalkan kinerja penegak hukum. Satuan Tugas (Satgas) hak tagih yang sudah dibentuk semestinya menagih semua kerugian negara dari BLBI beserta bunga berbunganya. "Apalagi pembayaran dan aset yang diserahkan para debitur rata-rata lebih rendah dibanding yang mereka terima," katanya.
Sementara itu, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan pemerintah sebaiknya tidak menarik utang lagi, karena sudah semakin menumpuk.
"Jangan sampai kegagalan mencapai pendapatan negara selalu ditutup dengan utang. Ini bertentangan dengan semangat pengelolaan fiskal yang sehat," kata Badiul.
Potensi pendapatan lain pun, jelasnya, harus dioptimalkan dengan betul-betul serius menagih piutang BLBI dan melakukan moratorium bunga obligasi rekap.
Belanja pun semestinya ditekan, bukan malah tiap tahun dinaikkan, sementara kondisi perekonomian sedang krisis. Belanja negara semestinya lebih diprioritaskan untuk belanja produktif dan biaya penanganan dampak pandemi.
Utang Luar Negeri
Sebelumnya, pemerintah menyampaikan rencana defisit APBN 2022 berkisar 4,51-4,85 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau setara dengan 808,2 triliun hingga 879,9 triliun rupiah. Defisit tersebut akan ditutupi dengan penarikan utang.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI), Erwin Haryono, dalam keterangannya menyatakan posisi utang luar negeri Indonesia pada akhir triwulan I 2021 sebesar 415,6 miliar dollar AS, turun 0,4 persen dibandingkan posisi triwulan IV-2020 sebesar 417,5 miliar dollar AS. Perkembangan tersebut didorong oleh penurunan posisi pinjaman luar negeri pemerintah.