JAKARTA - Pemerintah diminta lebih serius melakukan upaya untuk mencapai karbon netral atau net zero emission yang ditargetkan terealisasi pada 2060 mendatang. Keseriusan itu semestinya diwujudkan dalam bentuk lebih gencar menyosialisasikan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) dan mengonversi pembangkit listrik berbahan bakar fosil seperti baru ke energi hijau.

Pengamat Energi dari Universitas Brawijaya Malang, Suprapto, mengatakan selain pemerintah, masyarakat juga harus sadar akan masa depannya karena EBT adalah keniscayaan. Apalagi, tarif dasar listrik (TDL) tidak mungkin turun, malah cenderung selalu naik. Maka, salah satu sumber EBT yang mudah didapat adalah dengan memanfaatkan sinar matahari.

"Sinar matahari sangat melimpah sehingga bisa menjadi sumber energi yang bersih dan murah. Memang harga panel surya bagi kelompok masyarakat tertentu belum terjangkau, tetapi seiring dengan pemakaian yang lebih meluas dan dukungan insentif, tentu suatu saat lebih mudah," kata Suprapto.

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana, mengatakan pemerintah akan mengambil manfaat dari arah pengembangan energi yang semakin hijau.

"Kementerian ESDM sudah menyusun Grand Strategi Energi Nasional dengan tujuan mewujudkan bauran energi nasional dengan prinsip keadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan sehingga tercapai ketahanan, kemandirian, dan kedaulatan energi," kata Dadan.

Menurut Dadan, pemerintah akan menekan pemanfaatan energi fosil dan meningkatkan kapasitas penggunaan EBT di Indonesia.

Proses transisi menuju energi bersih, pemerintah menetapkan target bauran EBT 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050.

"Pemanfaatan energi baru terbarukan yang potensinya sangat besar di dalam negeri ini masih rendah," katanya.

ESDM mencatat, total potensi EBT di Indonesia mencapai 417,8 gigawatt (GW) dengan rincian energi samudera sebesar 17,9 GW, panas bumi 23,9 GW, bioenergi 32,6 GW, angin 60,6 GW, air 75 GW, dan matahari 207,8 GW.

Meskipun potensinya sangat besar, namun pemanfaatannya baru mencapai 2,5 persen atau 10,4 GW berupa pemanfaatan panas bumi 2,13 GW, bioenergi 1,9 GW, angin 154,3 megawatt (MW), air 6,12 GW, dan matahari 153,5 MWp.

Tambah Pembangkit

Dalam kesempatan itu, Dadan juga mengatakan pemerintah akan menambah pembangkit EBT sebesar 38 gigawatt (GW) pada 2035 dengan mengoptimalkan produksi bahan bakar nabati berupa biodiesel dan biohidrokarbon, serta membangun transmisi dan distribusi listrik mulai dari smart grid hingga off grid.

Dalam upaya mempercepat pengembangan energi baru terbarukan ada sejumlah langkah yang dilakukan Kementerian ESDM, yakni substitusi energi primer dengan memanfaatkan eksisting teknologi mulai dari biodiesel 30 persen ke 50 persen, co-firing PLTU, hingga pemanfaatan limbah sampah menjadi energi.

Kemudian, konservasi energi primer dari pembangkit fosil menjadi pembangkit energi baru terbarukan dengan memanfaatkan potensi lokal. Selain itu, juga meningkatkan kapasitas EBT untuk memenuhi permintaan baru dengan berfokus kepada pengembangan tenaga surya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, mendukung upaya untuk mencapai zero carbon pada 2060 dengan memanfaatkan energi hijau.

"PLN harus mempunyai rencana bagaimana mereka mulai beralih dari energi fosil ke energi ramah lingkungan sebagai sumber energi primer," kata Mamit. n SB/ers/E-9

Baca Juga: