» Semakin besar negara bergantung pada perdagangan pangan global, makin tidak aman.
» Selain merugikan petani, impor bertentangan dengan anjuran Presiden Jokowi menggunakan produk lokal.
JAKARTA - Rencana pemerintah untuk mengekspor beras satu juta hingga 1,5 juta ton harus dihentikan karena dinilai hanya untuk mengakomodasi para mafia pangan yang mencari keuntungan. Di sisi lain, petani sangat dirugikan karena harga sudah menjelang musim panen, sehingga harga gabah bakal turun lebih dalam.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, kepada Koran Jakarta, Minggu (7/3), mengatakan rencana impor itu sudah disampaikan Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, yang sudah disetujui Menteri Perdagangan, namun tidak melibatkan Menteri Pertanian.
Penghentian rencana impor tersebut bisa diputuskan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena pada pekan lalu sangat gencar menggaungkan gerakan cinta produk Indonesia yang akan menggerakkan perekonomian nasional.
"Sangat disayangkan, dalam dua tiga minggu ke depan akan ada panen raya. Produksi lagi di masa puncak, lantas impor itu untuk siapa?" kata Said mempertanyakan kebijakan Menko Perekonomian itu.
Menurut Said, keputusan itu hanya menguntungkan golongan tertentu, tetapi di sisi lain merugikan petani sebagai produsen pangan.
Pandemi Covid-19, paparnya, rupanya belum cukup memberikan pembelajaran bagi pemerintah. Kebergantungan pada impor dan produsen dari luar negeri hanya menyebabkan makin rendahnya derajat ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.
"Pandemi menunjukkan semakin besar negara tergantung pada perdagangan pangan global, makin tidak aman kondisinya. Barangkali kita bisa menengok Singapura sebagai contoh," tegasnya.
Di saat negara-negara lain berlomba memperbaiki sistem pangan dalam negeri dengan memperkuat produksi pangan dari dalam, pemerintah justru sebaliknya.
"Lalu, apa artinya program peningkatan produksi yang sudah dilakukan. Untuk apa janji berdaulat pangan yang dalam dua periode digaungkan? Bukankah program pencetakan kawasan pertanian skala luas food estate sudah dijalankan sejak 10 tahun lalu dan diperluas satu tahun ke belakang, harusnya sudah mampu menjawab persoalan ini," kata Said.
Said bahkan sangsi dengan program food estate yang banyak diragukan banyak kalangan.
"Jangan sampai food estate bukan upaya untuk memperkuat cadangan pangan, tapi hanya untuk melayani kepentingan sekelompok tertentu seperti rencana impor beras," kata Said.
Pemerintah, jelasnya, tidak punya niat serius mewujudkan kedaulatan petani dan pangan, hanya sebatas melempar slogan dan pujian pada pertanian, ketika sektor tersebut mampu tumbuh di tengah pandemi dan saat sektor yang lain terguncang hebat.
"Kebijakan pangan nasional itu lebih mengakomodasi para mafia pangan yang mencari keuntungan, ketimbang untuk meningkatkan kesejahteraan petani yang terus terpuruk," kata Said.
Pemerintah, tambahnya, harus menghentikan rencana impor tersebut dan memperkuat Bulog dengan menyediakan anggaran supaya bisa menyerap gabah petani dalam jumlah yang lebih besar. Dengan demikian, petani lebih untung dan di sisi lain cadangan pangan beras termasuk untuk bantuan sosial tetap terjaga.
Bertentangan dengan Presiden
Sementara itu, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya Malang, Andi Fefta Wijaya, mengatakan rencana impor beras menjelang panen sangat merugikan petani dan bertentangan dengan anjuran Presiden Jokowi untuk mengutamakan produk dalam negeri.
"Ini bertolak belakang dengan permintaan Presiden pekan lalu yang ingin mengutamakan produk dalam negeri. Kasihan petani karena tentu ini akan menggerus harga gabah, dan menyebabkan Nilai Tukar Petani (NTP) makin turun," kata Andy.
"Memang yang namanya pedagang akan selalu ingin cari untung, menjelang bulan Puasa berusaha menyetok beras, biasa kalau mereka punya political interest dengan memasukkan beras impor," kata Andy.
Pemerintah seharusnya mengabaikan lobi-lobi dari para pencari rente yang selalu meneriakkan impor. n ers/SB/E-9