Pertumbuhan ekonomi yang dianggap tinggi tidak mampu menekan kemiskinan.

Evaluasi pelaksanaan Kebijakan Pemerataan Ekonomi mesti dibuka ke publik.

JAKARTA - Pemerintah diharapkan lebih fokus mengatasi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi, ketimbang mengejar angka pertumbuhan tinggi tapi tidak berkualitas. Sebab, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang selama ini dianggap tinggi pun terbukti belum mampu menekan kemiskinan dan kesenjangan.

Bahkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah penduduk miskin di Tanah Air meningkat 6.900 orang menjadi 27,77 orang dari September 2016 ke Maret 2017.


Ekonom senior UGM, Revrisond Baswir, mengemukakan para menteri terkait semestinya lebih fokus pada masalah utama yang sudah dipaparkan Presiden Joko Widodo di awal tahun anggaran 2017, yakni kesenjangan ekonomi.


"Jangan dialihkan lagi pada isu-isu rendahnya pertumbuhan, pergeseran perdagangan online-offline, melemahnya konsumsi keluarga, dan hal-hal lain yang cuma cecabang dari ekonomi yang hanya memperlebar kesenjangan," papar dia, ketika dihubungi, Rabu (9/8).


Revrisond menegaskan berulang kali Presiden mengatakan bahwa percuma pertumbuhan 5-7 persen atau double digit kalau yang menikmati pertumbuhan hanya segelintir keluarga terkaya yang menguasai ekonomi Indonesia.


Dia menambahkan pemerintah juga telah memaparkan strategi mengatasi kesenjangan itu dengan Kebijakan Pemerataan Ekonomi (KPE) yang bertumpu pada tiga pilar, yaitu lahan, kesempatan, dan sumber daya manusia (SDM).


"Nah, sekarang sudah Agustus, mana evaluasi dari fokus kerja dan anggaran 2017 ini? Tidak ada evaluasi malah ikut dalam keruwetan masalah-masalah cecabang yang tidak ada hubungannya dengan kesenjangan," tandas Revrisond.


Menurut dia, evaluasi pelaksanaan KPE itu semestinya segera dibuka ke publik. "Itu akan jadi prestasi. Ekonomi tumbuh 5 persen tidak apa-apa kalau kabinet bekerja untuk fokus kesenjangan dan ada evaluasinya."


Sebelumnya, pengamat ekonomi dari Unair Surabaya, Karyadi Mintaroem, menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terlalu mengandalkan konsumsi, tidak berkualitas dan tidak berkelanjutan. Apalagi, konsumsi tersebut banyak berasal dari impor, seperti pangan dan otomotif, yang dibiayai dari utang.


Sebab, ketika keuangan negara makin tipis akibat terkuras untuk membiayai impor dan kewajiban utang maka pertumbuhan ekonomi cenderung melambat sehingga kehilangan kemampuan untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan.


"Ini yang mulai terjadi pada kuartal kedua tahun ini. Ketika konsumsi rumah tangga stagnan, pertumbuhan pun tersendat," papar dia.


Karyadi menambahkan konsumsi yang lebih banyak berasal dari impor dan utang pada akhirnya akan menguras keuangan negara. Belasan tahun Indonesia memboroskan dana untuk konsumsi yang tidak produktif, contohnya impor pangan dan otomotif (komponen motor dan mobil).


"Selain itu, APBN juga mesti menanggung beban utang tak produktif, seperti utang obligasi rekapitalisasi perbankan eks BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), serta belanja rutin yang besar untuk pegawai negeri," jelas dia.


Tidak Optimal


Terkait dengan pertumbuhan tidak berkualitas, ekonom Indef, Bhima Yudhistira, mengatakan ada banyak faktor yang memengaruhinya.

Pertama, terjadi gejala deindustrialisasi sehingga meski realisasi investasi meningkat, penyerapan tenaga kerjanya berkurang pada semester I-2017 bila dibandingkan periode sama tahun lalu. "Jadi, otomatis pengurangan kemiskinan itu juga tidak berjalan efektif," kata Bhima.


Faktor kedua, sekitar 80 persen ekspor Indonesia berupa komoditas primer sehingga Indonesia terus terjebak pada fluktuasi harga komoditas global. Ketiga, pemberantasan kemiskinan melalui program pemerintah tidak berjalan optimal.

Reforma agraria, misalnya, hanya bagi-bagi sertifikat gratis. Padahal, seharusnya reforma agraria diarahkan untuk distribusi lahan produktif.

Kemudian, Program Keluarga Harapan (PKH). Program itu tetap penting, tapi rawan dijadikan kepentingan politik sehingga PKH belum bisa dijadikan bantalan untuk meningkatkan daya beli.


Pada intinya, menurut Bhima, pembentukan jaring pengaman yang diciptakan pemerintah untuk menyelamatkan daya beli kelompok miskin belum efektif sehingga pendapatan mereka tidak bisa mengikuti laju inflasi.

"Pertumbuhan ekonomi juga masih dinikmati kalangan elite. Akibatnya, indeks Gini atau angka ketimpangan kita sulit turun dari 0,39," kata dia. YK/ahm/WP

Baca Juga: