Pemerintah harus fokus mendorong upaya menemukan sumber energi murah dan dapat diproduksi sendiri.
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana membangun industri liquefied petroleum gas (LPG) di dalam negeri guna mengurangi kebergantungan terhadap impor gas. Hal ini demi mengurangi defisit neraca dagang dan menghemat devisa negara.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, mengungkapkan langkah ini penting dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekonomi dan mengurangi defisit neraca perdagangan dan devisa negara.
"Khusus untuk LPG, kita ke depan akan membangun industri LPG di dalam negeri, dengan memanfaatkan potensi C3 (propane) dan C4 (butana). Ini kita harus bangun supaya mengurangi impor kita," ujar Bahlil di Jakarta, Rabu (11/9).
Bahlil mengungkapkan, saat ini, Indonesia mengeluarkan devisa secara signifikan untuk importasi LPG. Sekitar 450 triliun rupiah keluar setiap tahun untuk membeli minyak dan gas (migas), termasuk LPG.
Hal itu berdampak langsung terhadap neraca perdagangan dan pembayaran negara. Karena itu, pembangunan industri domestik dianggap sebagai solusi tepat untuk mengurangi beban tersebut.
Bahlil juga menyoroti pentingnya pengembangan jaringan gas rumah tangga sebagai bagian dari upaya pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Saat ini, pemerintah membangun pipa gas dari Aceh hingga Pulau Jawa.
"Ini sebagai bagian daripada instrumen untuk memediasi ketika gas kita di Jawa lebih banyak, bisa kita kirim ke Aceh atau ke Sumatera. Atau, gas kita di Sumatera lebih banyak, bisa kita kirim ke Pulau Jawa," jelas Bahlil.
Lebih lanjut, untuk mendorong investasi di sektor hulu migas, pemerintah sedang merumuskan langkah-langkah komprehensif yang melibatkan penyederhanaan regulasi perizinan. "Perizinan kita terlalu banyak. Ada kurang lebih sekitar 300 lebih izin. Nah, ini kita akan pangkas. Kita akan potong," tegas Bahlil.
Selain penyederhanaan perizinan, Bahlil menekankan pentingnya memberikan insentif menarik bagi investor di sektor hulu migas. Dia juga menyoroti persaingan global yang semakin ketat dalam menarik penanaman modal asing atau foreign direct investment (FDI) di sektor hulu migas.
"Kita akan memperhatikan sweetener-sweetener yang mumpuni untuk kemudian bisa kita menawarkan kepada investor. Kemudian, kita akan bicara sama Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) untuk sharing masalah dan sharing pendapatan dengan baik," ucap Bahlil.
Regulasi EBT
Sementara itu, pengamat ekonomi, Salamudin Daeng, mengakui impor LPG atau energi umumnya menguras devisa negara. Karena itu, dirinya berharap pemerintah fokus mendorong Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) terkait upaya menemukan energi baru dan terbarukan dari sumber murah dan dapat diproduksi sendiri.
"RUU EBT harus dapat menghentikan impor BBM yang sekarang telah membuat bangsa kita terjajah oleh ketergantungan BBM impor. Selain itu, transisi energi melalui EBT juga dapat memfokuskan mencari pengganti LPG impor yang sangat memberatkan subsidi APBN," tegas Daeng.
Ada sumber energi biomasa yang sangat melimpah. Di sektor ketenagalistrikan EBT yang paling besar bisa dihasilkan dari hutan tanaman energi. Banyak sekali agenda EBT jika berpikir objektif dan tidak memaksakan privatisasi jaringan listrik milik negara.
RUU EBT harus menjadi jalan keluar atas masalah kerentanan energi nasional kita dan ketergantungan oleh karena impor energi, impor BBM, impor LPG, impor solar yang sangat memberatkan ekonomi negara.