Keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Keppres Nomor 6 Tahun 2021 tentang Pembentukan Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI, patut diapresiasi karena tercatat sebagai Presiden pertama yang berani menagih piutang negara yang terbengkalai selama 23 tahun.

Kasus BLBI terjadi sejak Orde Baru, namun hingga kini masalahnya tidak juga selesai.

Berbagai cara dilakukan pemerintah terdahulu untuk menuntaskan kasus BLBI, tetapi tidak ada yang berhasil.

Presiden Joko Widodo mencoba ikut menyelesaikannya.

Maka, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI pada 6 April 2021.

Satgas ini bertugas sampai tanggal 31 Desember 2023.

Untuk mendalami rencana-rencana kerja Satgas, wartawan Koran Jakarta, Fredrikus W Sabini, mewawancarai Pengarah Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI, Mahfud MD dalam beberapa kesempatan.

Berikut petikannya.

Banyak hal yang disampaikan Mahfud dalam wawancara ini, di antaranya soal alasan dibentuknya Satgas, tugas dan jangka waktu kerja Satgas, potensi pidana di dalam pengusutan kasus ini secara perdata, alasan tak dilibatkannya KPK, serta RUU Perampasan Aset yang tak kunjung tuntas.

Apa latar belakang keluarnya Keppres No 6 Tahun 2021 tentang Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI?

Begini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas vonis Mahkamah Agung (MA) yang membebaskan Syafruddin Arsyad Tumenggung (ST) tanggal 9 Juli 2019.

Tapi, PK tidak diterima MA.

ST tetap bebas dan Samsul Nursjalim - Itjih ikut lepas dari status tersangka karena perkaranya satu paket dengan ST (dilakukan bersama).

Ini mendorong Presiden mengeluarkan Keppres tersebut tanggal 6 April 2021.

Di dalam Keppres tersebut ada lima menteri ditambah Jaksa Agung dan Kapolri yang ditugasi mengarahkan Satgas untuk melakukan penagihan dan pemprosesan seluruh jaminan agar segera menjadi aset negara.

Kini, pemerintah akan menagih dan memburu aset-aset karena utang perdata terkait BLBI.

Berapa jumlah persis piutang itu?

Sesudah dihitung terakhir, hitungan pertama 108 trilliun rupiah.

Pernah menjadi 109 lalu 110 triliun.

Angka terakhir, tagihan piutang dari BLBI setelah menghitung sesuai dengan perkembangan kurs, pergerakan saham, dan nilai-nilai properti yang dijaminkan, ditemukan 110 triliun, 454 miliar, 809 juta, 645 ribu rupiah (110,454 triliun rupiah).

Menkeu sudah hitung.

Kenapa Satgas baru dibentuk?

Jawabannya gampang.

Sebab, kami baru menjadi pemerintah.

Alasan kedua, karena dulu masih ada kasus pidana.

Tahun 1998 kan pemerintah kucurkan dana 667 triliun rupiah untuk BLBI guna menolong.

Lalu, penyelesaiannya pada tahun 2004 dengan cara memberi surat keterangan lunas (SKL) dengan berbagai jaminan.

Namun itu belum dieksekusi.

Lalu, disinyalemen ada tindakan pidananya.

Makanya, kita tunggu dulu.

Kalau ada tindak pidananya, kita tagih lewat pidana.

Tetapi jika tidak, maka kita tagih lewat perdatanya.

Apa alasan pembentukan Satgas BLBI?

Dana BLBI itu selama ini baru berupa jaminan surat, uang, deposito, dan sebagainya.

Belum dieksekusi karena menunggu putusan MA.

MA sekarang sudah membuat putusan yang tidak bisa kita tolak.

Itu urusan MA bahwa ada masyarakat yang masih belum menerima.

Silakan ke KPK.

Tetapi bagi pemerintah, kebijakan BLBI tahun 1998 sudah selesai, telah dianggap benar.

Meskipun negara rugi karena waktu situasinya menghendaki itu.

Oleh sebab itu, sekarang perdatanya kita tagih.

Begitu.

Sebab semula kan memang perjanjian perdata.

Ini inisiatif siapa?

Ini inisiatif pemerintah karena memang ada pengakuan utang perdata dan sangat besar yang harus dieksekusi karena ada putusan MA.

Bahwa kucuran dana BI melalui BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) itu bukan tindak pidana menurut putusan MA.

Kita kalau begitu kembali ke perdatanya.

Ambil semua utang yang sudah diakui.

Apa ini untuk mengejar orangorang tertentu?

Kita hanya bertugas meneruskan.

Tidak ada di sini untuk melindungi orang atau memojokkan orang.

Tidak ada.

Daftarnya sudah ada sejak tahun 2004 dan itu sekarang kita uji.

Angka 110 triliun rupiah benar kerugian negara?

Itu bukan kerugian negara.

Kalau dilihat kerugian negara, lebih dari itu.

Sebab, negara sudah mengeluarkan 667 triliun rupiah.

Jaminan yang masuk sebagai pengakuan perdata hanya 110,454 triliun rupiah.

Jadi, ruginya banyak.

Ini hak tagih, bukan kerugian.

Uang negara berdasar perdata.

Ada yang berpidah ke pihak ketiga.

Ada 12 jenis tagihan.

Jika tidak dibentuk Satgas agak susah.

Tanpa Satgas, berarti hanya regular, tidak mungkin.

Bagaimana mekanisme kerja satgas?

Satgas sudah mulai memetakan.

Misalnya, utang itu dalam bentuk apa, dalam bentuk dana-dana rekening asing.

Lalu siapa yang nagih.

Yang bentuknya saham, siapa yang nagih.

Yang bentuk aset kredit, siapa kejar.

Ini yang paling banyak sebesar 101,8 triliun rupiah.

Ada yang bentuknya aset properti 8,6 triliun rupiah dan seterusnya.

Kita bagi-bagi tugas saja, sehingga tidak bisa diselesaikan secara reguler karena jenis problemnya saja ada 12.

Ternyata ada barang yang sertifikatnya sudah diserahkan, tapi barangnya sudah dikuasai orang lain.

Ada barang yang sertifikat dan barangnya sudah diserahkan, tetapi belum ada pengalihan penyerahan secara resmi, baru dinyatakan saja kepada kita.

Itu semua harus dipetakan dulu.

Oleh sebab itu, waktu 2,5 tahun itu kira-kira realistis untuk memperjelas berapa yang bisa kita dapat dari itu semua.

Ini tidak main-main juga karena banyak aset yang di luar negeri juga seperti milik Sjamsul Nursalim, antara lain di Singapura.

Ini kan tidak bisa memakai hukum Indonesia.

Harus menggunakan lawyer juga.

Misalnya, aset dalam bentuk rekening di Swiss, berarti harus memakai lawyer setempat.

Tidak bisa kita sendiri kalau harus terjadi perkara di pengadilan.

Apa Satgas sudah siapkan solusinya?

Satgas sudah menyiapkan solusi masing-masing.

Ada aset yang sudah berpindah ke luar negeri.

Apa yang akan dilakukan pemerintah?

Ya kita antarnegara, bisa memakai jasa interpol dan lain-lain.

Caracara ini sudah dicatat.

Kenapa KPK tidak dilibatkan?

Kalau KPK dilibatkan tidak apa-apa, karena pertama KPK itu lembaga penegak hukum pidana.

Kedua yah KPK itu lembaga dalam rumpun eksekutif, tetapi bukan bagian dari pemerintah, sehingga seperti Komnas HAM.

KPK di luar eksekutif.

Jadi, berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), KPK rumpun eksekutif, tetapi bukan bagian pemerintah.

Oleh sebab itu, kalau kita masukan, berarti dikooptasi.

KPK kalau masuk tim, nanti dikira disetir, dikooptasi, dan sebagainya.

Biarkan KPK bekerja.

Kalau memang ada korupsinya dari kasus ini nanti bisa dilibatkan atau KPK mengawasi.

Meski begitu, saya sudah koordinasi dengan KPK.

Perlu data pelengkap dari KPK karena KPK tentu punya data lain di luar soal hukum perdata yang bisa ditagihkan.

Jadi, bisa digabungkan ke soal perdata karena pidananya sudah diputus.

Sebenarnya bagaimana duduk perkaranya?

Kasus ini adalah hubungan perdata, utang-piutang di mana negara memberikan piutang kepada kreditur dan obligor.

Ternyata dalam proses itu, sesudah 2004, pemerintah membubarkan BBPN dan dinyatakan tugasnya selesai.

Lalu, utang-utang para obligor dan kreditur diserahkan ke negara untuk ditagih melalui Kemenkeu.

Kemudian, ada dugaan korupsi terutama dalam penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Sjamsul Nursalim, sehingga pada waktu itu, Syafruddin Temenggung diadukan ke pengadilan pidana.

Semula dihukum di tingkat pengadilan negeri karena ini korupsi.

Pengadilan tingkat pertama memvonis 13 tahun penjara dengan denda 700 juta rupiah.

Kemudian di tingkat banding dikuatkan.

Malah hukuman ditambah dari 13 menjadi 15 tahun.

Dendanya menjadi satu miliar rupiah.

Karena ada putusan itu, Sjamsul Nursalim dijadikan tersangka karena satu paket.

Tetapi, MA memutuskan itu bukan tindak pidana, sehingga Syafruddin dibebaskan dari segala tuntutan karena ini menjadi perdata.

Lalu, KPK mengajukan PK setelah vonis MA.

Tapi seperti tadi dikatakan, MA menolak PK karena tidak memenuhi syarat KUHAP.

Kenapa kasus ini berpindah dari pidana ke perdata?

Tidak pindah.

Pidananya tidak ada.

Terus bagaimana ke depannya tak ada potensi pidana?

Kami sudah rapat.

Bukan tidak mungkin nanti ada pidananya.

Tetapi bukan karena SKL.

Pidananya, misalnya, memberi jaminan tanah.

Ternyata yang dijaminkan ke negara milik orang lain, memberi surat ternyata palsu, dan sebagainya.

Bahkan dari sekian banyak jaminan itu, ada yang menjadi perkara di pengadilan dan diduga milik orang lain.

Milik pihak ketiga dan ternyata pihak ketiga menang.

Tetapi, pihak yang menjaminkan ke negara tidak mengubah jaminannya.

Jadi, kalau ada pidananya justru akan ketemu di sini nanti.

Kita tidak menutup pidananya.

Bila nanti dari sekian obligor dan debitur melakukan pidana, kita seret lagi ke pengadilan.

Maka ada Kejagung juga di Satgas.

Apa harapan kepada mereka yang punya utang?

Tentu diharapkan kepada mereka yang merasa punya utang - dan kami punya catatannya- secara sukarela datang ke pemerintah atau Kemenkeu menyelesaikannya.

Sebab, kasus di MA sudah selesai.

Untuk tanah-tanah atau properti yang sudah bisa dieksekusi akan dieksekusi sekarang karena MA sudah memutuskan bahwa itu perdata.

Apa perampasan aset bisa terkendala belum ada UU Perampasan Aset?

Mungkin itu salah satu faktor.

Kita sebenarnya sudah lama mengajukan RUU Perampasan Aset.

Semua kalau bicara di publik setuju.

Tetapi, ketika mau dimasukkan ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sulit.

Malah tiba-tiba keluar lagi.

Tapi, ini persoalan politik lah.

Maka, kita akan dorong agar UU Perampasan Aset secepatnya masuk ke Prolegnas agar lebih mudah mengeksekusi kasus-kasus seperti ini Satgas ditarget 2,5 tahun.

Terkaitkah dengan bargaining mendorong RUU ini?

Iya, salah satunya seperti itu.

Kita akan ke DPR memberi tahu ini loh karena UU Perampasan Aset belum diselesakan, kita ambil jalan berliku-liku untuk ambil uang sendiri, uang negara.

Jadi, secara tidak langsung, Satgas ini untuk mendesak DPR membahas RUU Perampasan Aset.

Riwayat Hidup*

Nama : Mohammad Mahfud MD

Tempat, tanggal lahir : Sampang, Jawa Timur, 13 Mei 1957

Istri : Zaizatoen Nihajati

Anak : Mohammad Ikhwan Zain, Vina Amalia, dan Royhan Akbar

Pendidikan :

  • Sarjana Hukum di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (1983)
  • Magister Ilmu Politik di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1989)
  • Doktor Ilmu Hukum Tata Negara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1993)

Karier :

  • Dosen Hukum (1984-sekarang)
  • Sekretaris Jurusan Hukum Tata Negara, Universitas Islam Indonesia (1986-1988)
  • Pembantu Dekan II Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (1988-1990)
  • Direktur Karyasiswa, Universitas Islam Indonesia (1991-1993)
  • Pembantu Rektor I, Universitas Islam Indonesia (1994-2000)
  • Direktur Pascasarjana Universitas Islam Indonesia (1996-2000)
  • Anggota Panelis dan Asesor, Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (1997-1999)
  • Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman (2000-2001)
  • Wakil Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP Partai Kebangkitan Bangsa (2002-2005)
  • Rektor Universitas Islam Kediri (2003-2006)
  • Anggota DPR RI (2004-2008)
  • Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013)
  • Anggota Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (2017-2018)
  • Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (2018-2020)
  • Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2019-sekarang)
  • Pengarah Satgas Penagih Aset BLBI (April 2021-sekarang)

*BERBAGAI SUMBER/LITBANG KORAN JAKARTA/AND

Baca Juga: