» Pemerintah harus membunyikan alarm karena kebergantungan pada impor pangan akan terganggu dengan kebijakan negara eksportir yang sudah mulai membatasi ekspor.

» Dibutuhkan pemimpin yang visioner dan mampu mengedepankan kepentingan publik daripada kepentingan sekelompok orang.

JAKARTA - Pemerintah diminta mewaspadai krisis pangan global karena dampaknya sudah menyebar ke Indonesia seperti kenaikan harga beberapa komoditas pangan. Merembetnya dampak krisis pangan itu tidak lepas dari sikap abai pemerintah pada peringatan agar segera membenahi sektor pertanian dalam negeri dalam rangka substitusi impor.

Guru Besar Teknologi Pertanian dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sigit Supadmo Arif, mengatakan pemerintah harus membunyikan alarm karena kebergantungan pada impor pangan akan terganggu dengan kebijakan negara eksportir yang sudah mulai membatasi ekspor pangan mereka guna memenuhi kebutuhan dalam negerinya.

Saat ini, kata Sigit, sudah 23 negara yang membatasi ekspor pangan. Indonesia sebenarnya bukan tidak siap mengantisipasi kondisi tersebut, tetapi selama ini Indonesia memang tidak mau siap dan malah mengabaikan semua peringatan.

"Perlu diingat, membangun infrastruktur itu penting, tapi harus memprioritaskan infrastruktur utama seperti pertanian. Jaringan irigasi sekunder dan tersier pun tidak dibangun. Pemerintah hanya membangun irigrasi primer, tapi lupa membangun sarana irigasi sekunder dan tersier, akibatnya air tidak sampai ke desa-desa," katanya.

Kalaupun toh dibangun, Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, Dwijono Hadi Darwanto mensinyalir sebagian besar irigasi sekunder dan tersier tersebut sudah rusak. "Hampir 60 persen lebih itu sudah rusak. Otomatis pasokan air jadi terganggu. Pasokan air yang terganggu itu, selama ini tidak pernah dibetulkan. Itu yang sebenarnya sebagai ancaman dan sudah ada sejak lama, tapi tidak pernah diperbaiki," kata Dwijono.

Dia pun membandingkan dengan Vietnam, dimana irigasi dari Sungai Mekong yang tadinya hancur karena perang, begitu selesai perang diperbaiki. Sekarang, produksi beras di Vietnam sudah lebih tinggi dari Indonesia.

Menurut Sigit, Man power untuk menjaga irigasi pun tidak disiagakan, sehingga tidak ada yang menjaga pintu-pintu. Dia juga membenarkan kalau saat ini sumber air irigasi 70 persen adalah bendungan. Namun, apabila daerah aliran sungai jelek maka sawah pada musim kering tidak akan ada air.

"Peringatan mengenai pentingnya membangun pertanian secara holistik sudah bertahun-tahun, tapi terus saja impor yang jadi kebijakan utama pemenuhan pangan kita," papar Sigit.

Oleh karena itu, dia mengatakan kalau menteri-menteri yang ada hanya berpikir impor saja maka sebenarnya untuk apa ada menteri. Sebab, levelnya hanya pedagang, bukan merumuskan dan melaksanakan kebijakan.

"Kalau menteri hanya berpikir impor aja, ya nggak perlu menteri, tapi levelnya hanya sebatas pedagang. Kalau sudah 23 negara tidak ekspor bagaimana? Masa kita mengemis untuk beli pangan. Inilah tragedi kegagalan kepemimpinan nasional. Apa yang dicita-citakan Bung Karno pada Marhaen ya akhirnya kita tidak punya pangan lagi. Lahan subur terbatas. Pulau Jawa itu kualitas satu tanah tapi dibeton," katanya.

Hal itu karena selama bertahun-tahun diizinkan berjalan. Dengan fulus, semua bisa dibeli. Maka dari itu, pemimpin baru kelak kalau tidak berjuang untuk pangan, energi, dan teknologi maka Indonesia akan mengalami masalah besar masuk dalam status bahaya.

Kepentingan Publik

Secara terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, mengakui bahwa pemerintah lupa membangun infrastruktur pertanian. Pemerintah lupa dan menggampangkan masalah perut. Padahal kalau perut rakyat kelaparan dan harga pangan tidak affordable maka akan lebih mudah chaos.

Kebijakan pemerintah harus di-drive berdasarkan kepentingan publik, bukan kepentingan golongan. Kebijakan pangan, misalnya, harus dipenuhi dari produksi dalam negeri, bukan dari impor.

Masalahnya, impor itu dibuat lebih mudah karena ada sekelompok golongan yang diuntungkan dari impor. Makanya, impor pangan menjadi pilihan daripada swasembada pangan," kata Esther.

Ke depan, tambahnya, dibutuhkan pemimpin yang visioner dan mampu mengedepankan kepentingan publik daripada kepentingan sekelompok orang yang menjadi sponsor pada saat pemilu," katanya.

Baca Juga: