JAKARTA - Kementerian Pertanian meminta seluruh kabupaten/kota segera menetapkan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B) melalui Peraturan Daerah (Perda) tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW). Hal itu dimaksudkan untuk mencegah alih fungsi lahan pertanian.

Inspektur Jenderal (Irjen) Kementerian Pertanian (Kementan), Jan S Maringka, pada rapat koordinasi pengawasan (Rakorwas) pengendalian alih fungsi lahan pertanian di Yogyakarta, awal pekan ini, mengatakan dari 514 kabupaten/kota di seluruh Indonesia, baru 260 kabupaten/kota yang telah memiliki LP2B dalam Perda RTRW.

"Banyak terjadi ahli fungsi lahan, namun upaya pencegahan atau penegakan hukumnya belum berjalan," kata Jan Maringka.

Alih fungsi lahan pertanian, jelasnya, terjadi seiring meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Tanah Air. Hingga saat ini, luas baku lahan sawah di Indonesia mencapai 7.463.948 hektare, sedangkan yang telah ditetapkan sebagai LP2B baru seluas 5.292.962 hektare.

Akibatnya, kata Jan, dari total luas lahan 7,46 juta hektare tersebut, sebanyak 659.200 hektare mengalami alih fungsi dengan rincian 179.539 hektare dalam kondisi terbangun dan 479.661 hektare menjadi perkebunan. "Kami akan bekerja sama juga dengan pihak Kejaksaan untuk mendorong agar daerah-daerah lain juga memiliki RTRW yang mengatur kebijakan, sehingga alih fungsi lahan ini bisa kita kendalikan," katanya.

Menurut Jan, dampak langsung yang diakibatkan oleh alih fungsi lahan berupa hilangnya lahan pertanian subur, hilangnya investasi infrastruktur irigasi, kerusakan natural lanskap, dan sejumlah masalah lingkungan. Pada akhirnya, petani dan masyarakat secara umumnya yang paling dirugikan.

Sementara itu, Wakil Gubernur DIY, KGPAA Paku Alam X, mengatakan DIY berkomitmen mengatasi permasalahan alih fungsi lahan pertanian ini demi ketahanan pangan Indonesia.

"Fenomena alih fungsi lahan pertanian tidak hanya merugikan petani dan masyarakat perdesaan. Hal ini dapat mengancam kemandirian ketahanan dan kedaulatan pangan," kata Wagub.

Tidak Jalan

Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Dwijono Hadi Darwanto, mengatakan penetapan lahan pertanian pangan berkelanjutan sampai sekarang tidak jalan setidaknya karena dua alasan. Pertama, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) lebih tinggi dari hasil produksi pertanian di tanah tersebut.

Kedua, karena dorongan kebutuhan uang kas dari petani sehingga lahan tersebut dijual. "Lahan pertanian sudah dianggap kurang menghasilkan," kata Dwijono.

Sementara itu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak tegas dalam menjaga alih fungsi lahan. Terkadang IMB tetap keluar, padahal bangunan berdiri di atas lahan pertanian pangan.

Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, menegaskan perlunya sinkronisasi regulasi antara pemerintah pusat dengan pemda dalam mencegah alih fungsi lahan.

"Jangan sampai pemerintah pusat tidak kasih izin, tetapi pemerintah daerah kasih atau sebaliknya," ungkap Esther. Selain itu, harus dikenakan sanksi tegas apabila ditemukan pelanggaran atau upaya alih fungsi lahan di lapangan.

Baca Juga: