Akses untuk mendapatkan vaksin tidak mudah sehingga yang telah ada harus sangat dihargai dan dipergunakan secara maksimal.

JAKARTA - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meminta pemerintah daerah (pemda) cermat dalam mengelola stok vaksin Covid-19. Hal ini diperlukan untuk mencegah terjadi lagi temuan vaksin kedaluwarsa.

"Kami mendapatkan laporan dari beberapa daerah, seperti Kudus dan Yogyakarta, ada yang sudah kedaluwarsa. Ada yang mendekati kedaluwarsa," kata Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, di Jakarta, Minggu (7/11).

Namun berapa jumlah pastinya, Nadia belum mendapatkan informasi secara lengkap dari daerah. "Kami berharap kabupaten atau kota untuk lebih cermat mengelola vaksin. Artinya, yang kedaluwarsa dekat untuk digunakan dan didistribusikan lebih dahulu," katanya.

Nadia meminta pemda memetakan kapasitas penyuntikan dan sasaran vaksinasi. "Jadi, bisa mencegah vaksin yang tersisa dan kedaluwarsa, apalagi mengingat masih banyak kabupaten atau kota yang belum mencapai target," ujarnya.

Selain itu, Nadia mengimbau masyarakat tidak pilih-pilih merek vaksin Covid-19. "Vaksin yang ada adalah vaksin yang akan memberikan perlindungan kepada kita dan akan mengakhiri pandemi ini," katanya.

Penyebab ada vaksin kedaluwarsa itu, kata dia, di antaranya kecepatan penyuntikan dan strateginya. Sedangkan evaluasi mengenai vaksin kedaluwarsa itu menjadi tanggung jawab masing-masing pemda.

Jangan Menunda

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, meminta pemda tidak menunda proses vaksinasi Covid-19. Dia meminta temuan 4.000 dosis vaksin Astrazeneca di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, yang kedaluwarsa per tanggal 29 Oktober 2021 menjadi pembelajaran seluruh unsur dalam sistem kesehatan.

"Baik pemerintah pusat, daerah provinsi maupun kabupaten/kota, untuk tidak menunda proses vaksinasi," katanya dalam konferensi pers, Kamis (4/11).

Wiku juga meminta masyarakat proaktif untuk menyambangi tempat-tempat vaksinasi karena vaksin Covid-19 sangat berharga untuk melindungi masyarakat.

"Ingat akses terhadap vaksin tidak mudah untuk kita dapatkan, sehingga harus sangat dihargai dan dipergunakan secara maksimal," kata Wiku.

Lebih jauh, Nadia mengatakan pemerintah secara berkala melakukan evaluasi tarif tes usap berbasis real time polymerase chain reaction (RT-PCR). Kebijakan itu dilakukan untuk memastikan masyarakat mendapatkan pemeriksaan sesuai dengan harga yang seharusnya dibayarkan.

"Kami secara berkala bersama Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengevaluasi tarif pemeriksaan, menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Proses evaluasi merupakan standar yang kami lakukan dalam penentuan harga suatu produk maupun layanan," kata Nadia.

Menurut Nadia, evaluasi terhadap tarif pemeriksaan RT-PCR oleh Kemenkes bersama BPKP sudah dilakukan sebanyak tiga kali. Pertama pada 5 Oktober 2020 ditetapkan pemeriksaan RT PCR 900 ribu rupiah. Kedua, pada 16 Agustus 2021 ditetapkan pemeriksaan RT PCR 495 ribu rupiah untuk Pulau Jawa dan Bali, serta 525 ribu rupiah untuk di luar Pulau Jawa dan Bali.

Terakhir pada 27 Oktober 2021, pemerintah kembali menetapkan tarif PCR 275 ribu rupiah untuk Pulau Jawa dan Bali dan 300 ribu rupiah untuk di luar Pulau Jawa dan Bali.

Baca Juga: