» Kalau uangnya hilang tidak berbekas, sedangkan pendapatan pajak turun, maka negara akan tetap miskin.

» Anggaran menguap dan tidak menghasilkan kembali karena digunakan untuk membayar utang dan impor.

JAKARTA - Ribuan triliun rupiah dana yang dialokasikan untuk pembangunan selama belasan tahun belum menunjukkan hasil optimal karena tidak didukung oleh kapasitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang kuat sebagai instrumen fiskal dalam menstimulasi perekonomian. APBN yang diharapkan jadi trigger perekonomian, malah mengalami tekanan karena pemborosan belanja negara terus terjadi.

Pemborosan dari belanja negara itu, terutama untuk membayar bunga obligasi rekapitalisasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) serta kebijakan impor khususnya komoditas pangan yang masih berlanjut.

Hal itu tidak terlepas dari hampir semua menteri-menteri di kabinet bermental impor, sehingga kebijakan sektoral tidak ada yang berupaya membangun kemandirian ekonomi. Ribuan triliun dana yang dibelanjakan di tengah kesulitan pajak, tidak dialokasikan untuk pembangunan yang produktif, terutama membangun sektor riil yang membuka lapangan kerja.

Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya, Andy Fefta Wijaya yang diminta pendapatnya, Rabu (16/6) mengatakan, beban utang yang terlalu besar khususnya dari obligasi rekap dan kebijakan impor telah melemahkan APBN sebagai instrumen fiskal untuk menstimulasi perekonomian.

"Utang saat ini agak sulit dilihat sebagai investasi, namun sebagai beban keuangan negara karena pemanfaatannya yang belum prudent, tepat hasil, dan tepat guna. APBN sebagai instrumen fiskal pemerintah untuk menstimulasi perekonomian gagal menjalankan fungsinya secara optimal karena tidak digunakan cukup selektif dalam mengalokasikan dan mendistribusikan anggarannya sehingga minim kontribusinya sebagai multiplier effect," kata Andy.

Alokasi dana melalui transfer dana ke daerah termasuk dana desa banyak yang menguap tanpa bekas karena kurang perencanaan dan tidak dipetakan dengan baik. Pemerintah daerah (Pemda) tidak mencari tahu potensi dan daya saing yang dimiliki, sehingga alokasi dana desa tidak digunakan secara efektif membangun desa. Padahal, kalau dialokasikan secara efektif, bukan untuk konsumsi, maka yang dibangun bisa memproduksi barang untuk kebutuhan nasional, sehingga uangnya tidak hilang. Dengan demikian mereka memperoleh pendapatan bukan pembiayaan.

Buat Pemetaan

Sebab itu, Kementerian Desa harus membuat perencanaan anggaran yang jelas dengan membangun sektor pertanian, peternakan, industri kecil, agar dananya menjadi barang dan aset yang terus berputar menghasilkan uang.

Seknas Fitra, Badiul Hadi mengatakan mental birokrat yang selama ini selalu berpikir bagaimana menghabiskan anggaran harus berubah menjadi bagaimana menghasilkan dari anggaran yang sudah dibelanjakan. Sebab itu, kementerian terkait khususnya Kemendes tidak hanya menggelontorkan anggaran tetapi juga mengawasi penyalurannya agar uang tidak hilang tanpa bekas.

"Kalau uangnya hilang tidak berbekas, sedangkan pendapatan pajak turun, maka negara akan tetap miskin," katanya.

Di tengah keterpurukan ekonomi, pemerintah jelasnya berupaya mengejar penerimaan pajak untuk membiayai defisit termasuk membayar utang. Padahal, utang tersebut berasal dari barang impor karena masyarakat terus dijejali barang impor baik di platform perdagangan elektronik (e-commerce) maupun mall (pusat perbelanjaan). Platformnya dibuat di dalam negeri, tetapi yang dipajang di sana hampir semuanya barang impor.

Begitu juga kendaraan, meskipun sudah banyak diproduksi dalam negeri, tetapi tingkat kandungan komponennya banyak dari impor. Komponen impor tersebut ditambah lagi dengan subsidi bahan bakar seperti bensin.

"Pembiayaan dari APBN dan kredit bank banyak disalurkan ke barang impor yang tidak produktif sehingga semua uangnya lari ke luar negeri. Bagaimana bayar kreditnya kalau sektornya tidak bangkit," kata Badiul.

Hal itulah yang menyebabkan kerja keras dan program bagus yang dilakukan pemerintah hasilnya belum optimal. Masih banyak alokasi anggaran menguap dan tidak menghasilkan kembali karena digunakan untuk membayar utang dan impor. Pola yang sudah berjalan belasan tahun itu akan membuat apapun program pemerintah tidak akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Pertumbuhan Semu

Memang, paparnya ekonomi Indonesia pernah tumbuh 7 persen saat booming komoditas, tetapi semu karena konsumsi dari impor. Sebab itu, terang Badiul dalam kondisi bencana akibat Covid-19 sudah seharusnya pesta dari barang impor diakhiri, terutama oleh para menteri. Mereka harus mulai membangun pertumbuhan yang berkualitas dengan membangkitkan dunia usaha, sehingga lapangan kerja yang terbuka lebih banyak.

Bank sebagai jantung perekonomian harus memompa likuiditas ke sektor riil yang produktif, bukan malah sebaliknya membiayai sektor yang konsumtif dan membuat perekonomian menggelembung seperti properti.

Ekonomi negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Uni Eropa dan Tiongkok sudah mulai naik karena didukung kapasitas pembiayaan yang kuat, sementara Indonesia masih merosot karena masalah yang paling fundamental belum dibenahi. "Kita sulit lepas dari jerat kemiskinan kalau pemborosan APBN terus berlanjut, hanya untuk bayar utang dan impor," katanya.

Dia juga menyarankan agar pemerintah tidak banyak terjebak aturan internasional dengan dalih kompetisi yang sehat. Sebab, aturan yang diterapkan sulit diikuti sementara negara pesaing rata-rata negara yang sehat.

"Dalam kondisi krisis seperti sekarang hak hidup sebagai negara harus diutamakan. Jangan ikut aturan organisasi internasional seperti WTO yang kita tidak bisa ikuti,"pungkasnya.

n SB/ers/E-9

Baca Juga: