Ketegangan kembali terjadi di wilayah konflik di Rakhine, Myanmar. Kelompok pemberontak Rohingya menyerang sejumlah pos polisi dalam sebuah aksi terkoordinasi dan mengancam akan terus meningkatkan aksi serangan di Rakhine.

YANGON - Sekurangnya 59 pemberontak dan 12 personel keamanan dilaporkan terbunuh dalam bentrokan bersenjata di wilayah bergejolak di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, pada Jumat (25/8).

"Kelompok pemberontak ektremis Bengali telah melakukan aksi serangan besar-besaran terkoordinasi di 30 pos polisi dan pangkalan militer pada jam 1 dini hari dengan menggunakan bom buatan dan senjata ringan," demikian pernyataan militer Myanmar.

Pemerintah Myanmar menyebut warga Rohingya dengan Bengali yaitu warga imigran gelap yang berasal dari Bangladesh, walau eksistensi telah cukup lama berada di Myanmar sejak beberapa generasi. Tiadanya pengakuan dari negara menyebabkan warga Rohingya mendapatkan perlakuan kurang manusiawi dan tersisihkan.

Selain menyerang pos polisi dan pangkalan militer, pemberontak Rohingya juga menghancurkan jembatan-jembatan dengan bahan peledak. Militer Myanmar mengatakan sekitar 150 pemberontak Rohingya telah menyerang pangkalan militer di Desa Taung Bazar, wilayah administrasi Kota Buthidaung, dan aksi ini segera direspons oleh militer.

"Mereka merencanakan serangan ini karena kami telah menemukan kamp dan bom-bom mereka yang disembunyikan di sebuah gua," kata juru bicara Kepolisian Myanmar, Kolonel Myo Thu Soe.

Terkait terjadinya serangan bersenjata pada Jumat pagi, kelompok Tentara Penyelamatan Arakan Rohingya (ARSA), mengklaim bertanggung jawab atas aksi tersebut dan mengancam bakal melakukan lebih banyak serangan lagi.

"Kami telah melakukan aksi defeensif melawan kekuatan perampok Burma di lebih dari 25 lokasi. Aksi lebih banyak segera dilakukan," kata pemimpin ARSA, Ata Ullah, lewat media sosial Twitter.

ARSA atau yang dulu lebih dikenal dengan nama Harakah al-Yaqin, juga turut diinvestigasi pada serangan Oktober lalu.

Bentrokan tersebut, yang masih terjadi di beberapa lokasi, menandai peningkatan eskalasi konflik di wilayah barat laut negara bagian di Myanmar sejak Oktober lalu dimana sebuah serangan serupa memicu operasi sapu bersih militer yang meninggalkan jejak tudingan pelanggaran hak asasi manusia.

Perlakukan kurang manusiawi terhadap sekitar 1,1 juta warga minoritas Muslim Rohingya di negara dengan mayoritas populasi beragama Buddha, jadi sorotan ditengah transisi politik dari penguasa militer ke sipil di Myanmar.

Krisis ini, menurut sejumlah pengamat, telah memicu bahaya laten pemberontakan yang telah meningkat ukurannya dan mengalami perkembangan jadi pergerakan kelompok militan. Diperkirakan saat ini ada 1.000 orang pemberontak yang berasal dari wiayah administrasi kota di Maungdaw dan Buthidaung.

Reaksi PBB

Situasi itu semakin kacau balau saat awal bulan ini pasukan militer ditambah dan memulai operasi sapu bersih terbaru di wilayah pegunungan terpencil di Myanmar.

Saat terjadi operasi militer Oktober lalu, sebanyak 87 ribu warga Rohingya melakukan eksodus ke Bangladesh. Sebelum aksi serangan pemberontakan Rohingya terbaru kemarin, dilaporkan sudah 1.000 warga Rohingya lagi yang kabur ke wilayah Bangladesh.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan pasukan militer Myanmar sepertinya telah melakukan kejahatan atas kemanusiaan yang dimulai sejak Oktober lalu.

Serangan pada Jumat pagi hanya selang beberapa jam setelah panel yang dipimpin mantan Sekjen PBB, Kofi Annan, memberikan saran solusi jangka panjang untuk mengakhiri konflik di Rakhine.

Menyikapi serangan oleh ARSA, PBB mengecam serangan tersebut dan meminta dua belah pihak agar menahan diri.

"Kami amat prihatin atas situasi keamanan di negara Bagian Rakhine dan menyerukan semua pihak untuk menghindari kekerasan, melindungi warga sipil dan menegakkan aturanb hukum," pungkas koordinator perwakilan PBB di Myanmar, Renata Lok-Dessallien. Rtr/I-1

Baca Juga: