JAKARTA - Saat ini Indonesia tengah menghadapi tiga masalah gizi utama yang dikenal sebagai tiga beban malnutrisi (triple burden of malnutrition). Ketiganya adalah gizi kurang (stunting dan wasting), gizi lebih (overweight dan obesitas), dan kekurangan vitamin dan mineral (hidden hunger).
"Meskipun begitu, seringkali obesitas tidak mendapat perhatian yang sebanding, padahal World Health Organization (WHO) telah menggambarkan obesitas pada anak sebagai masalah kesehatan global yang serius," ujar Prof. Dr. dr. Aryono Hendarto, SpA(K), dokter spesialis anak dengan keahlian khusus di bidang Nutrisi dan Penyakit Metabolik di Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia (UI), melalui siaran pers, Selasa (23/4).
Laporan berjudul WHO Obesity and Overweight (2022) memperkirakan 124 juta anak mengalami obesitas di seluruh dunia. Di Indonesia, menurut data Status Gizi Indonesia 2022 menunjukkan terjadi peningkatan kejadian obesitas anak sebesar 10 kali lipat dalam 4 dekade.
Menurut laporan Kulnipa Kittisakmontri dan Mary Fewtrell berjudul Impact of Complementary Feeding on Obesity Risk (2023), anak dengan obesitas dapat mengalami sejumlah penyakit penyerta. Beberapa diantaranya adalah sindrom metabolik yaitu tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, diabetes, perlemakan hati, gangguan pernapasan saat tidur, dan kanker.
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), diabetes pada anak Indonesia meningkat 70 kali lipat pada tahun 2023, 70 persen penyebabnya adalah karena obesitas. Selain itu, sebanyak 55 persen obesitas anak akan menjadi obesitas pada saat remaja, selanjutnya 80 persen obesitas remaja bertahan hingga dewasa.
"Mengingat obesitas sangat sulit untuk diatasi, pencegahan merupakan prioritas yang harus dilakukan sedini mungkin mulai dari periode pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI)," tutur guru besar di FK UI itu.
Pada periode tersebut, anak mulai membentuk selera makan, preferensi makanan, dan metabolisme yang penting dalam membentuk dasar kesehatan mereka di masa depan. Pemberian MPASI sebaiknya dimulai saat bayi sudah mencapai usia enam bulan. Menurut laporan Veit Grote and Melissa Theurich berjudul Complementary Feeding and Obesity Risk (2014), pemberian MPASI terlalu dini yaitu di bawah 4 bulan dapat meningkatkan risiko obesitas.
Selain itu, penelitian tetapi di sisi lain menurut laporan Naseem Mohammad Alshwaiyati dan kawan-kawan berjudul Association Between Obesity and Iron Deficiency (Review) Experimental Medicine and Therapeutic Medicine (2021) menunjukkan bahwa anak obesitas di satu sisi mengalami kelebihan makronutrien seperti karbohidrat, lemak dan protein. Namun di sisi lain mengalami kekurangan mikronutrien seperti zat besi.
"Sehingga MPASI harus bergizi lengkap dan seimbang. MPASI yang tinggi zat besi penting untuk mencegah anemia dan mengatur keseimbangan metabolisme sehingga anak menjadi lebih aktif dan sehat," katanya.
Ia menegaskan, penting juga untuk menghindari beberapa kesalahan dalam pemberian MPASI yang dapat meningkatkan risiko obesitas. Pemberian MPASI yang tidak sesuai dengan tahapan usia anak, misalnya memberi makanan dewasa seperti snack yang bukan khusus bayi bisa menyebabkan obesitas karena kalori yang lebih tinggi dari kebutuhan bayi. Agar terhindar dari obesitas, salah satu asupan yang harus benar-benar diperhatikan adalah gula.
Bagi orang tua yang memiliki keterbatasan waktu dan khawatir dalam memenuhi kebutuhan zat gizi makro dan mikro anak, MPASI fortifikasi dapat menjadi pilihan bagi si kecil. Salah satu keunggulan MPASI fortifikasi adalah memiliki kandungan gizi yang terukur dan seimbang, termasuk zat besi dan gula, yang disesuaikan dengan kebutuhan di setiap tahapan usia anak.
"Karenanya, produk MPASI fortifikasi dilengkapi dengan label 'rekomendasi usia'. MPASI fortifikasi yang telah lulus uji BPOM, selain bebas pengawet, pewarna dan perasa juga memiliki kadar garam dan gula yang sesuai dengan standar keamanan untuk bayi. Jadi, orang tua tidak perlu khawatir dalam memberi MPASI fortifikasi," ungkapnya.