Pengamat kebijakan pendidikan dari Universitas Airlangga (Unair), Agie Nugroho Soegiono, menyebut, pemberian gelar doktor kehormatan atau honoris causa (HC) jangan sembarangan. Menurutnya, pemberian gelar doktor kehormatan memerlukan prosedur yang panjang dan ketat.

JAKARTA - Pengamat kebijakan pendidikan dari Universitas Airlangga (Unair), Agie Nugroho Soegiono, menyebut, pemberian gelar doktor kehormatan atau honoris causa (HC) jangan sembarangan. Menurutnya, pemberian gelar doktor kehormatan memerlukan prosedur yang panjang dan ketat.

"Regulasi menekankan bahwa gelar HC hanya dapat diberikan kepada individu yang telah memberikan kontribusi signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, dan kemanusiaan," ujar Agie, dalam keterangan resminya, Kamis (10/10).

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair itu menerangkan, dalam Permendikbud nomor 65 tahun 2016 tentang Doktor Kehormatan, program studi yang memberikan harus sudah terakreditasi A atau unggul. Penerima juga mesti memiliki kriteria yang terdeskripsi dalam Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) level 9 yang ada dalam Peraturan Presiden nomor 8 tahun 2012 tentang KKNI.

Dia menambahkan, bahwa pemberian gelar kehormatan harus melalui usulan dari senat akademik kepada pimpinan universitas dan melalui proses uji kelayakan. Proses tersebut melibatkan tim promotor untuk mengecek kelayakan seputar rekam jejak prestasi, kontribusi yang sudah terbukti, serta dampak bagi masyarakat.

"Ini menunjukkan bahwa gelar HC tidak hanya diberikan berdasarkan gelar akademik. Tetapi juga pada kontribusi nyata dalam pengembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan," jelasnya.

Agie menekankan bahwa institusi pendidikan harus transparan dan lebih berhati-hati dalam memberikan gelar doktor kehormatan. Menurutnya, pemberian gelar HC, haruslah memperhatikan dampak bagi masyarakat.

"Kampus perlu memastikan bahwa karya atau hasil kerja seseorang yang diusulkan untuk menerima gelar HC tidak hanya diakui secara formal tetapi juga dapat dipertanggungjawabkan," katanya.

Sebelumnya, Universitas Institute of Professional Management (UIPM) memberikan gelar Doktor Kehormatan kepada selebritis, Raffi Ahmad. Peristiwa ini mendapat respons dari masyarakat yang mempertanyakan tentang kapasitas serta kesesuaian proses pemberian gelar tersebut.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Abdul Haris menerangkan, hasil investigasi juga menunjukkan bahwa UIPM belum memiliki izin operasional di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, pihaknya akan berkoordinasi dengan Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendikbudristek guna menindaklanjuti temuan Tim Investigasi LLDIKTI Wilayah IV terkait keberadaan dan perizinan UIPM.

"Tanpa izin operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi dari pemerintah, gelar akademik yang diperoleh dari perguruan tinggi asing tersebut tidak dapat diakui," ucapnya.

Sementara itu, terkait kasus UIPM, Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah IV, M. Samsuri, mengatakan, UIPM sampai dengan saat ini belum mendapat izin penyelenggaraan di Indonesia. Pihaknya mengimbau agar masyarakat memastikan setiap keberadaan perguruan tinggi.

"Bisa dicek status perizinannya melalui laman https://pddikti.kemdikbud.go.id/, dan atau melalui laman https://direktori.lldikti4.id/ untuk perguruan tinggi di wilayah Jawa Barat dan Banten," tuturnya.

Baca Juga: