BANJARMASIN - Guru Penggerak SMA Islam Terpadu Ukhuwah Islamiyah Banjarmasin, Risma Yuhani, mengungkapkan dalam Program Guru Penggerak (PGP) pihaknya mendapat banyak pengalaman berharga dan bermakna. Salah satunya cara merancang pembelajaran diferensiasi sesuai kebutuhan siswa.
"Ketika mengikuti guru penggerak yang saya rasakan bagaimana melakukan pembelajaran yang bermakna di kelas saya. Seperti melakukan pembelajaran yang berdiferensiasi, sehingga pembelajaran lebih senang bagi siswa dan sesuai dengan kebutuhan mereka," ujar Risma, dalam Press Tour Praktik Baik Program Guru dan Sekolah Penggerak, di Banjarmasin, kemarin.
Risma mengakui, ketika dia menerapkan pembelajaran diferensiasi, para siswa terpacu untuk mengutarakan pendapat. Di akhir pembelajaran, ada sesi refleksi untuk mendengar pendapat siswa tentang materi yang didapat dan proses pembelajaran selanjutnya.
Dia memastikan, peserta didik merasa bebas untuk menyampaikan pendapat mereka tanpa terkecuali. Tanpa juga mereka takut pendapat mere benar atau salah. "Karena itu sesuai dengan mereka. Jadi yang kritis bisa terfasilitasi, yang perlu dibimbing bisa dengan nyaman mendapat bimbingan kembali," jelasnya.
Risma mengatakan, sebelum mengikuti Guru Penggerak, dia sudah berusaha interaktif dan membangun kedekatan sosial dan emosional dengan para peserta didik. Adanya PGP mempertajam proses tersebut. "Jadi mengalir, refleksi di akhir kelas dan semester juga terkait pembelajaran. Kalau lebih suka pembelajaran visual, kedepan akan diperbanyak begitu," ucapnya.
Perkuat Kolaborasi
Lebih lanjut, Risma menyebut, selain pemahaman, PGP juga memberikan bekal pertemanan dengan para guru penggerak lainnya. Menurutnya, hal tersebut sangat penting untuk memperbanyak kolaborasi dengan para guru hebat lainnya.
Dia menambahkan, proses kolaborasi selama pendidikan Guru Penggerak mendorong untuk menciptakan kolaborasi di lingkungan sekolah. Tujuannya untuk menciptakan program dan konten pembelajaran yang inivatif dan berpihak kepada peserta didik.
"Contoh di kami ada karya tulis ilmiah sebagai syarat kelulusan siswa. Ternyata anak-anak tidak cukup pembimbingan hanya di mata pelajaran bahasa Indonesia. Jadi kita bikinkan workshopnya untuk membekali anak-anak," katanya.
Dia mengakui, salah satu tantangan dalam melaksanakan PGP adalah manajemen waktu saat mengikui pelatihan. Menurutnya, jadwal pelatihan kerap bentrok dengan waktu mengajar di kelas.
"Tapi, pembagian waktunya fleksibel, jadi menyesuaikan kesibukan kita. Jadi pelatihan tetap berjalan, bahkan kalau seru bisa sampai larut malam," tandasnya.
Siswa SMA Islam Terapdu Ukhuwah, Muhammad Fari Hanif, mejelaskan, kehadiran guru penggerak berdampak pada pembelajaran yang lebih banyak menghadirkan diskusi. Meski ada pembagian kelas antara lelaki dan perempuan, tapi itu bukan menjadi halangan.
"Jadi menjelaskan lebih baik, ada gambarannya, ada juga pelajaran dan sangat membantu untuk memberikan murid-muridnya sosialisasi dan juga ide-ide inspiratif dan motivasi," terangnya.