Memoratorium pembangunan smelter untuk nikel kelas II perlu untuk membatasi produksi yang berlebihan.
JAKARTA - Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana membatasi pembangunan pabrik pemurnian mineral atau smelter nikel kelas II. Rencana itu setelah mempertimbangkan suplai dan kebutuhan atau supply and demand bijih nikel di Tanah Air.
Staf Khusus Menteri ESDM bidang Percepatan Tata Kelola Mineral dan Batu Bara, Irwandy Arif, menuturkan keseimbangan antara pasokan dan kebutuhan bijih nikel diperlukan agar tidak menjadikan Indonesia sebagai pengimpor bijih nikel. Esensi moratorium ini ditujukan agar smelter yang sudah terbangun tetap mendapatkan pasokan bijih nikel untuk keberlanjutan operasi produksi.
"Kementerian ESDM sudah ada rencana untuk melakukan pembatasan. Dari Kemenkomarves juga mengatakan bahwa pemerintah tidak akan mengeluarkan lagi izin untuk pembangunan smelter jenis untuk proses pyrometalurgi untuk nikel kelas II," ujar Irwandy Arif, di Jakarta, Kamis (19/10).
Irwandy menjelaskan pemerintah akan mengkaji secara komprehensif kebijakan ini, terutama untuk proses nikel yang ada di Indonesia, baik nikel berkadar rendah (limonite) maupun nikel berkadar tinggi (saprolite). "Saat ini, nikel yang mengalami proses pyrometalurgi ke arah stainless steel ada 44 smelter dan yang menggunakan proses hydrometalurgi ke arah baterai itu ada tiga smelter. Konsumsi bijih nikel untuk pyrometalurgi dengan saprolite adalah sebesar 210 juta ton per tahun dan limonate sebesar 23,5 juta ton per tahun," jelas Irwandy.
Saat ini, terdapat 25 smelter yang sedang tahap konstruksi membutuhkan pasokan nikel sebanyak 75 juta ton per tahun. Sedangkan untuk arah proses baterai hydrometalurgi ada enam smelter yang sedang konstruksi dengan kebutuhan bijih 34 juta ton per tahun.
Pada tahap perencanaan ke arah pyrometalurgi, terdapat 28 smelter dan 10 smelter untuk hydrometalurgi dengan kebutuhan masing-masing 130 juta ton per tahun dan 54 juta ton per tahun. "Total, smelter yang ada sampai dengan saat ini, belum lagi yang terbaru itu ada 116 smelter yang terdiri dari 97 smelter pyrometalurgi dan 19 smelter ke arah hydrometalurgi," ungkap Irwandy.
Dewan Penasihat Asosiasi Prometindo, Arif S Tiammar, mendukung upaya untuk memoratorium pembangunan smelter untuk nikel kelas II. Menurutnya, itu langkah yang baik untuk membatasi produksi yang berlebihan.
"Sejujurnya saya sendiri sangat mendukung dengan upaya untuk membatasi pembangunan feronikel atau pembangunan proyek yang berbasiskan ferometalurgi yang mengonsumsi biji nikel saprolite menjadi FeNi ataupun NPI ataupun mate, sekalipun kita memiliki cadangan yang sangat besar di sisi hydrometalurgi yang bersumberkan dari nikel limonite atau nikel yang kadar rendah," ujar Arif.
Batasi Produksi
Arif mengungkapkan beberapa alasan menyetujui kebijakan moratorium ini. Pertama, untuk membatasi kapasitas produksi yang berlebihan dan menempatkan Indonesia menjadi produsen NPI terbesar di dunia.
"Kapasitas produksi saat ini sudah luar biasa besar, bahkan jumlahnya berdasarkan data tahun 2022 sebesar sembilan juta ton NPI (nikel pig iron) dengan kandungan nikel 1,1 juta ton per tahun. Akhirnya menempatkan Indonesa sebagai produsan NPI terbesar dunia. Pembatasan produksi ini menjadi alasan pertama yang saya setuju dengan moratorium atau pembatasan," ungkap Arif.